Mukadimah Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan Sunnah





Di dalam mukaddimah ini saya akan menjelaskan definisi kisah, kemudian saya juga akan memaparkan pentingnya kisah, terutama kisah dari Al Qur’an dan hadits nabawi.

Definisi Kisah

Kisah berasal dari bahasa Arab, yaitu ” ﻘﺻﻪ “, dan bentuk jamaknya adalah ” ﻘﺻﺺ “ dengan qaf dibaca kasrah. Kisah dalam bahasa Arab adalah berita-berita yang diriwayatkan dan diceritakan. Al Qur’an telah menamakan berita-berita umat terdahulu yang  disampaikan kepada kita dengan sebutan kisah. Firman Allah, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha: 99)
“Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang kami ceritakan kepadamu (Muhammad), di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.” (QS Huud: 100)
“Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Huud: 120)
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik.”(QS Yusuf: 3)
Dan Allah menamakan pemberitahuan Musa tentang peristiwa-peristiwa dirinya kepada bapak dua orang wanita yang telah dibantunya memberi minum ternak dengan sebutan kisah, “Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita darinya.” (QS Al Qashash: 25)
Asal kisah menurut orang Arab adalah penelusuran jejak. Orang yang ahli dalam urusan jejak berjalan di belakang orang yang hendak diungkap beritanya, maka dia menelusuri jejaknya sampai dia berhenti di tempat dia tinggal. Dan mengutarakan berita-berita disebut kisah karena pembawanya menelusuri peristiwa-peristiwa kisah seperti apa yang terjadi. Dia menelaah lafazh- lafazh dan makna-maknanya. Oleh karena itu, seseorang bukanlah pembawa kisah yang sebenarnya kecuali jika dia membawa peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sesuai  dengan  kejadian  sebenarnya.  Al Qur’an menamakan penelusuran jejak dengan qashash (kisah- kisah) dalam firman-Nya, “Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.” (QS Al Kahfi: 64). Yang dibicarakan dalam ayat ini adalah Musa dan temannya, ketika keduanya mengetahui bahwa tempat yang ditentukan oleh Allah bagi keduanya untuk menemui seorang hamba yang shalih telah terlewati, maka keduanya kembali menelusuri jejak mereka sendiri agar bisa kembali dengan jalan sama yang telah mereka lalui agar bisa sampai kepada hamba shalih tersebut.
Termasuk dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa, ‘Ikutilah dia’.” (QS Al Qashash: 7). Si pemberi perintah di sini adalah ibu Musa, kepada saudara perempuan Musa agar menelusuri jejak saudaranya, Musa. Dia ditaruh di peti lalu dihanyutkan di sungai. Demikian juga mengeksekusi pembunuh, yang disebut dengan qishash. Karena keluarga korban mengikuti perbuatan pembunuh, maka mereka memperlakukan pelaku seperti dia memperlakukan korban.[1]
Orang-orang Arab menganggap setiap pengutaraan berita sebagai kisah. Hanya saja, jika memperhatikan pemakaian ahli ilmu dan adab (sastra), maka didapatkan bahwa kisah merupakan warna tersendiri yang mempunyai tabiat khusus dari suatu cerita. Jadi, setiap kisah adalah berita dan tidak semua berita adalah kisah. Penciptaan langit, bumi, malaikat, dan jin yang Allah sampaikan kepada kita adalah berita, bukan kisah.  Nama-nama para Nabi dan Rasul serta nama-nama bapak mereka yang Allah sampaikan kepada kita adalah berita, bukan kisah. Adapun berita-berita para Rasul bersama kaum mereka, pergolakan antara kelompok yang baik dan buruk disebut dengan kisah dan juga berita.
Kisah didefinisikan dengan ilmu menceritakan peristiwa- peristiwa dan perbuatan-perbuatan dengan metode bahasa tertentu yang berujung pada target tertentu.
Kisah adalah ilmu sastra yang sangat tua umurnya. Selalu menyertai umat-umat manusia dari zaman primitif sampai masa puncak peradaban. Ia memiliki posisi yang istimewa di antara bidang-bidang (sastra lainnya), karena keluasan dan cakupannya terhadap tujuan-tujuan yang berbeda-beda. Metode bahasanya indah dan ringan bagi jiwa. Al Qur’an telah mencapai puncak kisah tertinggi dan terlengkap.[2]

Metode Kisah

Para pengkaji di dalam bidang kisah merangkum metode yang menjadi ciri pembeda antara kisah dengan bidang- bidang adab lainnya. Sebagian pengkaji telah menuangkan ciri-ciri tersebut sebagai berikut:
  1. Ciri umum bagi metode periwayatan, yaitu mengalir dan berantai di mana pembaca merasa digiring ke muara; dia menunggu dan menanti akhirnya.
  2. Kisah tersusun secara terangkai dan bersifat simpel, membuang perincian-perincian yang tidak perlu.
  3. Kisah mempunyai target sasaran utama yang bisa diraba secara tidak langsung dari konteks pemaparan.
  4. Ungkapan-ungkapannya mesti jelas dan mudah, karena pembaca lebih fokus kepada alur peristiwa kisah.
  5. Keragaman ungkapan antara lembut dan keras sesuai dengan kondisi dan kepribadian.
  6. Metode pemaparan beragam, antara dialog dan pemaparan.
  7. Di antara metode kisah adalah metode berlebih- lebihan yang terkadang dipakai untuk menarik  perhatian terhadap sisi-sisi penting, begitu pula metode keterkejutan dan isyarat yang membuka ruang bayangan.
  8. Cinta terkadang masuk ke dalam kisah karena kekuatannya sebagai faktor penunjang. Cinta merupakan perasaan humanis yang universal.[3]

Pentingnya Kisah

Kisah merupakan sebuah warna adab (sastra). Manusia memberinya perhatian tidak seperti kepada bidang yang lainnya. Kisah disukai oleh jiwa manusia, memiliki nilai pengaruh yang tinggi. Jiwa menggemarinya, hati menyukainya, serta telinga membuka pintunya lebar- lebar.
Karena posisinya yang penting, maka pada masa kini model-modelnya semakin beragam. Ada yang disebut riwayat, yaitu kisah yang panjang (bersambung), pemerannya banyak, dan terdapat jaringan peristiwa- peristiwa dan kejadian-kejadian. Ada kisah pendek yang sering disebut cerpen. Ada pula kisah fiksi, kisah nyata, kisah perlambang. Termasuk kisah fiksi adalah kisah- kisah tentang hewan (fabel) di mana penulis menjadikan pahlawannya adalah hewan-hewan yang bisa berbicara, berpikir, mengatur dan melontarkan kata-kata mutiara.
Dewasa ini banyak sekali penulisan kisah. Sebagian besar dirubah menjadi sandiwara-sandiwara dan film-film, yang memerankan peristiwa seperti kejadiannya atau seperti yang dibayangkan oleh pemiliknya. Ditampilkan di gedung-gedung bioskop dan layar TV. Dan kisah-kisah yang ditampilkan ini membawa akidah, pemikiran, akhlak dan nilai-nilai para penulisnya. Banyak negara mulai menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilainya melalui kisah-kisah yang difilmkan, melalui buku-buku dan majalah-majalah, untuk mengikat hati dan akal orang-orang agar menjadi pengikutnya yang mengalir di orbitnya.

Pentingnya Kisah Al Qur’an Dan Hadits

Kisah terbaik adalah kisah-kisah Al Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu.” (QS Yusuf: 3). Dan kisah-kisah dari hadits nabawi berada setelah urutan kisah-kisah Al Qur’an.
Banyak orang yang terbiasa membaca kisah hanya untuk hiburan dan kenikmatan sesaat, karena mereka hanya mengetahui bahwa mayoritas kisah-kisah bukanlah wujud dari realita, semata-mata karangan dan imajinasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kisah yang tidak mungkin terjadi, seperti kisah khayalan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadiannya.  Kisah-kisah  rakyat  yang diceritakan dari orang-orang terdahulu, khususnya orang-orang Romawi dan Persia, termasuk di dalam kisah model ini, sering disebut dengan kisah takhayul. Termasuk dalam hal ini juga adalah kisah seribu satu malam. Di kalangan orang-orang Arab ada kisah Antarah dan kisah Abu Zaid Al Hilali. Kisah seperti ini masih mempunyai keberadaan yang kuat pada masa kini.  Penulis saat ini telah menemukan apa yang dinamakan dengan khayalan ilmiah, si penulis membayangkan sesuatu yang bisa dicapai oleh manusia pada masa yang akan datang dan memaparkan keadaan manusia pada waktu itu.
Kisah-kisah di dalam Al Qur’an dan hadits yang shalih, semuanya adalah kebenaran dan kejujuran. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi tanpa dikurangi dan ditambahi. “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu dengan sebenarnya.” (QS Al Kahfi: 13). “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (QS Ali Imran: 62). Kisah bukanlah suatu kebenaran kecuali jika ia disampaikan oleh penyampai tanpa tambahan di dalamnya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersucikan dari dusta. Maka, tidak mungkin Dia menceritakan kisah yang tidak terjadi. Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia menyaksikan dan melihat. Oleh karena itu, ketika Dia menyampaikan kisah kepada kita, maka Dia menyampaikan dengan ilmu sebagai Dzat yang menyaksikan dan melihat. “Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (QS Al A’raf: 7)
Jikalau manusia meyakini bahwa kisah-kisah Al Qur’an yang disampaikan kepada mereka dan kisah-kisah dari hadits Rasul yang sampai kepada mereka, semuanya adalah benar dan jujur, maka ia akan mempunyai pengaruh besar dalam meluruskan jiwa mereka. Ia bisa mengatur tabiat mereka dengan mengambil nasihat- nasihat dan pelajaran-pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Allah  telah  memerintahkan  Rasul-Nya  agar menyampaikan kisah-kisah yang diketahuinya kepada manusia, agar mereka merenungkan keadaan orang- orang yang telah berlalu, lalu mereka mengukur diri dengan mereka dan mengambil pelajaran untuk diri mereka. Jika mereka adalah orang-orang dzalim, maka mereka menjauhi jalan hidup mereka. Dan jika mereka adalah orang-orang baik, maka mereka harus diteladani.  “Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS Al A’raf: 176). “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran orang- orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah berita yang dibuat-buat.” (QS Yusuf: 111)
Para Rasul dan para dai mengambil pelajaran dari kisah orang-orang terdahulu. Kisah-kisah Al Qur’an dan hadits nabawi masih dan selalu menjadi bekal yang menyirami jiwa dan meneguhkan hati. Sebagaimana firman Allah, “Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Hud: 120). Kehidupan manusia di muka bumi mempunyai kemiripan dalam kelurusan dan penyimpangannya. Contoh-contoh kemanusiaan, baik yang lurus maupun yang serong, adalah contoh-contoh yang berulang. Oleh karena itu, Al Qur’anul Karim dan hadits nabawi, kedua-duanya memberikan kepada kita  berita-berita di mana kita mendapati diri kita di dalamnya atau mendapati padanya orang-orang di sekeliling kita. Seolah-olah nash-nash itu di samping menceritakan kisah fulan juga menyampaikan kepada kita tentang ujian yang kita rasakan atau kemakmuran yang kita enyam atau ia menyampaikan kepada kita tentang pemimpin yang adil yang hidup di antara kita atau pemimpin yang congkak lagi lalim yang mondar- mandir sebagai perusak di bumi. Kadang ia menyampaikan kepada kita tentang kisah kemanusiaan yang biasa. Bisa jadi yang dibahas adalah seorang petani yang shalih, atau pedagang yang jujur dan amanah, atau seorang manusia yang penuh kasih sayang. Contoh ini bisa kita lihat pada seorang petani kenalan kita atau pedagang relasi kita atau seorang laki-laki di mana kita mendapatkan serpihan kasih sayangnya.
Kisah-kisah Al Qur’an dan hadits menampilkan potret nyata dan riil yang menggariskan ajaran-ajaran Al Qur’an dalam fenomena yang berdenyut seiring hidup itu sendiri. Dan banyak manusia yang melihat kebenaran melalui kenyataan riil secara lebih gamblang daripada melalui pembelajaran-pembelajaran yang ala kadarnya. Oleh karena itu, seseorang yang lurus kadang-kadang perilakunya lebih berpengaruh bagi orang lain, daripada pengaruh ucapannya.



[1] Makna kata ‘Qashash’ secara bahasa bisa dilihat di Al Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hlm. 404. An-Nihayah Ibnul Atsir, 4/70, Lisanul Arab, 3/106, Al  Kulliyat, hlm . 734.
[2] Mu’jamul Ulumil Lughoh Al Arabiyah, Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, hlm. 320.
[3] Mu’jamul Ulumil Lughah, Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar, hlm. 320.

sumber: www.hasanalbanna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar