Mau Tahu Info Kepolisian? Ini Aksesnya







REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian adalah salah satu instansi yang  sering berhubungan dengan publik. Namun, terkadang masyarakat sulit untuk mengakses informasi dari kepolisian. Padahal, hak atas informasi ini menjadi bagian penting untuk berpartisipasi dalam urusan publik maupun negara, berdasarkan prinsip demokrasi.

Melihat fakta ini, MediaLink bekerja sama dengan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), airputih dan TIFA, menghadirkan layanan aksesinfopolisi.org. Melalaui website ini setiap orang bisa mengakses informasi sektor kepolisian dengan mudah.

Menurut Koordinator Program MediaLink, Mutjaba Hamdi, publik dapat mengakses website ini, dan melakukan permintaan informasi sektor kepolisian. Sebaliknya, pihak kepolisian dapat melayani dan menanggapi permintaan yang diajukan.

"Tujuan utamanya, website ini mempermudah proses keterbukaan informasi publik sektor kepolisian," ujar Mutjaba, di Jakarta, kemarin.

Kemudahan akses ini, Mutjaba memaparkan, dimungkinkan publik bisa mengontrol jalannya penyelenggaraan negara. "Jika publik bisa mendapatkan akses seperti ini, pencegahan mal-administrasi dan korupsi bisa dilakukan," ungkap Mutjaba.

Mutjaba menambahkan, website ini masih dalam tahap penyempurnaan. Sumber kepolisian yang saat ini baru dari Polda Metro Jaya. "Mudah-mudahan nanti Polda dari daerah lain bisa masuk," ujarnya.

Untuk mengakses informasi dari kepolisian, bisa dilakukan melalui layanan aksesinfopolisi.org. Menurut Koordinator Program MediaLink, Mutjaba Hamdi, kemarin, publik dapat mengakses website ini, dan melakukan permintaan informasi sektor kepolisian. Sebaliknya, pihak kepolisian dapat melayani dan menanggapi permintaan yang diajukan.

Penggunaan website ini cukup mudah. Cukup dengan registrasi dan mengisi formulir di website tersebut, informasi kepolisian sudah bisa di akses.

Agus Triwanto, Koordinator Pengurus Harian Yayasan Air Putih, menjelaskan cara mengakses website ini. "Jika sudah registrasi, publik bisa langsung bertanya tentang informasi apa yang ingin ditanyakan dalam kolom permintaan. Kami akan meneruskan kepada petugas informasi di kepolisian. Kepolisian berkewajiban untuk membalas permintaan dalam 10 hari kerja sesuai undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)."

Informasi yang bisa disampaikan ke publik sudah diatur oleh undang-undang KIP No 14 Tahun 2008. Publik bisa mengakses kegiatan dan kinerja kepolisian, laporan keuangan kepolisian, informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kebijakan kepolisian, dan informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.




"Kami ridha Allah dan Rasul-Nya menjadi bagian kami…”




Tidak ada golongan manusia yang begitu mudah memberikan pertolongan sepenuh kemampuan seperti orang-orang Anshar. Sebelumnya, mereka sedikitpun tidak mengenal orang -orang yang mereka tolong. Yang mereka tau hanyalah mereka adalah sesama muslim.
Mereka bersedia membagi dua semua miliknya. Dari kebun, toko, rumah, budak, hingga isterinya ketika hijrah Rasul mulia mempertemukan Muhajirin dan saudaranya, Anshar. Anshar memang penolong sejati. Keistiqomahan menjaga keberlangsunagn pertolongan yang mereka berikan.

Namun adalah wajar kadangkala sifat manusiawi muncul. Sifat ini justru menunjukan bahwa mereka tetap manusia dan bukan malaikat penolong. Pembagian rampasan Hunain di Ji’ranah adalah saksi sisi manusiawi mereka.

Siapa yang dipanggil di saat semua orang lari dari Rasulullah di lembah Hunain? Dan siapa yang dengan bergegas menyambut “labbaik!” hingga menggetarkan seluruh wadya musuh yang berlindungan di atas bukit? Bukankah Anshar? Bukankah Anshar yang menjadi kunci kemenangan pasukan ini?

Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah justru mebagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa, mualaf Makkah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”.

Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah kandang raksasa. 

Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma Ba’du. Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Allah membuat kalian kaya? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “begitulah. Allah dan Rasuln-Nya lebih murah hari dan lebih banyak karunianya.”

“Apakah kalian tak mau menjawabku, wahai orang-orang Anshar?” , tanya beliau.

Mereka berganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu ya Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nya lah anugerah dan karunia…”

Beliau bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan kepadaku. Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi  papa lalu kami memberikan tempat dan menanmpungmu…”

Sampai disini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.

“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin lagi kuragukan?”

“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang berpulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke tempat tinggal kalian?”

Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata…

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam Genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah guung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar.

Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar.” 

Rasulullah menutup penjelasan dengan doa yang begitu menentramkan. 

Dan tentu akhir semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini, “kami ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini..
kami ridha Allah dan RasulNya menjadi bagian kami…”

“…Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka…”
 - QS. Al Anfaal (8) : 63

Agar Bidadari Cemburu Padamu oleh Salim A. Fillah

Anshar, Pemilik Rumah yang memberikan segalanya”


sumber: http://irvanrahman.wordpress.com










Mush’ab bin Umair: Duta Islam Pertama





Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan.

Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum.”
Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush’ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan?

Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang baik”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tetapi corak pribadi manakah…?

Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanaiaan umumnya.
Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al Amin… Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da’i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa.

Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi bush pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karma walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajarnya ayat-ayat Al Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Al Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang pangsbergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas — berlipat ganda dari ukuran usianya — dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah…!

Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak.

Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Al Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketaqwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai — demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan — menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan.

Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, laludikurung dan dipenjarakannya amat rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara saudaranya kaum Muhajirin, lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karenataat kepadanya.

Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengurbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar…
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka — pakaiannya sebelum masuk Islam — tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya bersabda: “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bile rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi.” Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi.”

Demikian Mush’ab meninggalkari kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.

Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani …

Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah rnenjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik.” Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da’i dan da’wah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela Al Islam.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua betas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit ‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair.
Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka……

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat perternuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dan Allah, menyampaikan kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena keeerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba tiba disergap Usaid bin Hudlair kepada suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu di antaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan… . Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam — yang diserukan beribadah kepada-Nya — oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorang pun yang dapat melihat-Nya.
Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam…, laksana tenang dan damainya cahaya fajar…, terpancarlah ketulusan hati “Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya: “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta petimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al Quran dan menguraikan da’wah yang dibawa. oleh Muhammad bin Abdullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada shahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu…! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah.”

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah ….

Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.
Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Tbadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya-bertanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijrah ke Madinah.
Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera. Maka terpanggillah “Mush’ab yang balk”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.

Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.

Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan serangan ke arah Rasulullah dengan maksud menghantamnya.

Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara …

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam… . Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair.

Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceriterakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil Al ’Abdari dari bapaknya, ia berkata:
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul” . Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh .”

Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera…. la gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada…. Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Di saat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasulullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul.”

Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat Al Quran yang selalu dibaca orang…. Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia…. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.
Wahai Mush’ab cukuplah bagimu Ar Rahman…. Namamu harum semerbak dalam kehidupan….

Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat:
“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mushab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi… . Dan betapapun penuhnya Medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya …. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya …. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:
Di antara orang-orang Mu min terdapat pahlawan pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.
Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda:
“Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah.”

Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu kearah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru:
Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.
Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, Sabdanya :
“Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.”

Salam atasmu wahai Mush’ab

Salam atasmu wahai para syuhada…


sumber: www.hasanalbanna.com






Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan As Sunnah





Segala puji bagi Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Yang menundukkan makhluk dengan kemuliaan dan hukum-Nya. Yang melunakkan hati hamba-hamba-Nya, dan menyinari mata hati  mereka dengan nur-nur hidayah yang dikandung oleh kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Shalawat dan salam kepada makhluk-Nya yang paling mulia dan penutup Rasul-Rasul-Nya, Muhammad, yang membimbing manusia kepada Tuhan mereka, dan yang menundukkan hati mereka dengan jalan-jalan hidayah yang dia bawa kepada mereka, dan kepada keluarganya, para sahabatnya beserta orangorang yang mengambil petunjuknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari Kiamat.

Amma ba’du.

Buku ini memaparkan mayoritas kisah-kisah dari hadits Nabi. Keutamaan kisah-kisah dari hadits nabawi berada di bawah kisah-kisah dari Al Qur’an. Jika Al Qur’an adalah kalamullah, maka mayoritas kisah-kisah hadits adalah wahyu dari Allah. Oleh karena itu, keduanya berasal dari satu sumber dan satu sasaran. Target-target dari kisah-kisah dalam hadits adalah target-target di dalam kisah Al  Qur’an. Sama-sama menyuguhkan bekal untuk para dai dan orang-orang shalih, bekal rohani yang dikandung oleh kisah dan menyirami ruh, hati dan akal orang-orang yang beriman.

Kisah Al Qur’an dan hadits mengalir dalam diri manusia secara lembut dan murni. Kata-kata dan peristiwa-peristiwanya membawa segudang nasihat dan faedah untuk mengarahkan kepada jalan yang lurus dan melecut seorang mukmin untuk menjauhi dosa-dosa dan kerusakan-kerusakan.

Buku ini – seperti diisyaratkan oleh judulnya – membatasi diri pada hadits-hadits yang bersanad shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku tidak menyimpang dari dasar ini kecuali pada sedikit kisah yang mauquf kepada sahabat di mana sanadnya dari mereka adalah shahih; ada kemungkinan bahwa mereka mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mungkin pula mereka mengetahui dari selainnya.

Batasan buku ini hanya pada hadits-hadits shahih, tidak mengangkat hadits-hadits saqim (sakit), dhaif (lemah), bathil, dan palsu. Karena, menisbatkan hadits yang tidak bersanad shahih kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dusta atas nama Rasulullah. Dan dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya termasuk kejahatan besar.

Tidak boleh menyepelekan dalam menisbatkan hadits-hadits kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, terlebih jika hadits-hadits itu adalah kisah, karena kisah adalah berita-berita dan kejadian-kejadian ghaib. Kita beriman kepada ghaib yang benar. Beriman kepada sesuatu yang ghaib tanpa berdasar kepada Allah dan tidak pula dari Rasul-Nya dalam urusan-urusan yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu, itu merupakan penyimpangan dari jalan lurus dan kesesatan dalam pemikiran. Lebih dari itu, kisah-kisah dusta yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bisa jadi di dalam lipatan-lipatannya tersimpan akidah-akidah, akhlak-akhlak dan nilai-nilai bathil yang menyusup ke dalam diri manusia dengan mudah tanpa kesulitan.

Kisah-kisah seperti ini adalah sampan yang mengasyikkan bagi orang-orang yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Oleh karena itu, para ulama banyak memperingatkan akan bahaya kisah-kisah palsu, sebagaimana mereka juga telah memperingatkan dari tukang-tukang cerita yang tidak mengerti hadits shahih dan hadits lemah. Bahkan mereka menulis beberapa buku untuk memberi peringatan. Hal ini karena betapa berbahayanya, orang-orang yang menyulap agama menjadi dongeng-dongeng fiksi. Termasuk dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian penulis masa kini, ketika mereka merusak sirah nabawiyah (perjalanan kehidupan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam) dengan pemaparan berdasar pada metode dongeng khayalan. Dengan itu mereka telah banyak merusak agama kaum muslimin.

Aku menunjukkan tempat hadits di dalam buku-buku sunnah; lebih-lebih jika hadits itu termaktub dalam Shahihain atau salah satu dari keduanya. Akan tetapi, aku tidak merinci secara detail takhrij hadits-hadits dan jalan periwayatan lafazhnya. Aku hanya menyebutkan kisah-kisah terkomplit. Jika di dalam riwayat lain terkandung ilmu-ilmu dan faedah-faedah yang tidak terdapat di riwayat yang aku sebutkan, niscaya aku akan menyebutkan semuanya.

Dalam urusan takhrij hadits, aku berpijak pada takhrij sebagian ahli ilmu yang ilmunya terpercaya dalam bidang ini.

Aku tidak menyebutkan berita-berita tentang orangorang terdahulu yang bukan kisah. Banyak sekali beritaberita di dalam hadits Rabbani yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, penciptaan Malaikat, jin dan manusia, tentang para Rasul, orang-orang baik dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dalam bentuk kisah.  Oleh karena itu, aku tidak memaparkannya lantaran tidak termasuk di dalam bingkai yang aku letakkan untuk buku ini.

Pembaca akan melihat bahwa aku menulis buku ini dengan satu metode dalam seluruh haditsnya. Setiap hadits diberi mukaddimah sebagai pengantar untuk masuk ke dalam kisah. Lalu aku memaparkan nash hadits, diikuti dengan sumber-sumber rujukan dari hadits-hadits yang kuambil. Aku pun menerangkan dan menjelaskan kosakata yang sulit. Aku juga menjelaskan hadits secara memadai dan menutup semua hadits dengan pelajaranpelajaran dan faedah-faedah yang terpetik.

Pembaca akan melihat bahwa aku tidak membiarkan pikiran melayang jauh dari nash hadits hingga pembaca mengkhayalkan peristiwa-peristiwa seperti yang diinginkannya dan menambah alur cerita baru melebihi kandung hadits, dengan alasan bahwa kita membuat riwayat atau cerita bersambung dari hadits, di mana pada kisah tersebut terdapat alur kisah yang runtut dan daya tarik lainnya.

Metode yang dianut oleh banyak penulis masa kini adalah salah besar. Mayoritas kisah hadits adalah wahyu Ilahi, tidak ada peluang untuk memberikan tambahan. Di samping itu, ia menceritakan realita seperti kejadian aslinya, bukan ucapan bikinan dan penambahan seperti yang dilakukan oleh para penulis yang membuatnya berubah menjadi ucapan bikinan. Seharusnya yang dilakukan oleh penulis adalah menarik benang merah dari nash dengan sebisa mungkin, berpijak pada metode yang diletakkan oleh para ulama dalam upaya menarik faedah-faedah, pelajaran-pelajaran dan hukum-hukum dari nash.

Mungkin pembaca mengkritik penulis karena dia tidak memasukkan kisah-kisah dari hadits dalam jumlah besar, yang angkanya bisa melebihi kandungan buku ini yaitu kisah-kisah yang terjadi dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Yang benar adalah bahwa kisah model begini tidak termasuk dalam kisah-kisah yang menjadi target buruanku, karena yang aku maksudkan dengan kisah-kisah dari hadits adalah kisah-kisah yang diambil dari hadits-hadits Rasul qauliyah (perkataan Rasulullah). Yaitu, kisah tentang umat-umat terdahulu yang beliau sampaikan. Semoga aku bisa menulis kisah-kisah dari hadits Nabi model lain di buku lain pula.

Di dalam buku ini, pembaca yang budiman akan mendapati kisah-kisah para Nabi dan Rasul dalam jumlah yang tidak sedikit. Walaupun Al Qur’anul Karim telah memaparkan kisah-kisah mereka dengan kaum mereka secara luas dan terperinci, namun aku juga menyebutkannya. Sebagian dari kisah yang ada tidak tercantum di dalam Al Qur’an secara mutlak, seperti kisah Yusya’ dan kisah Nabi yang membakar penghunian semut, dan sebagian lagi tertulis di dalam Al Qur’an.

Hadits-hadits digunakan sebagai penjelas, penerang dan pemerinci tentang apa yang ada di dalam Al Qur’an, seperti kisah tentang Musa dengan Khidir yang tercantum di dalam surat Al Kahfi. Karena sebagian kisah-kisah Nabi yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang aku paparkan juga dipaparkan di dalam Taurat, maka aku pun menyebutkan apa yang disinggung tentangnya di dalam Taurat, tapi bukan bermaksud mengambil ilmu darinya. Al Qur’an dan hadits adalah lebih dari cukup. Ini demi meluruskan penyelewengan dan perubahan yang menimpa kisah-kisah Nabi di dalam Taurat. Dan barangsiapa melihat berita-berita dan ajaran-ajaran Taurat dengan metode yang aku ikuti ini, maka dia akan menemukan bahwa salah satu target kisah-kisah di hadits Nabi adalah meluruskan penyimpangan dan perubahan yang terjadi di dalam Taurat.

Sungguh telah salah orang-orang yang merujuk kepada Taurat untuk mengambil ilmu darinya, lalu mereka mensejajarkannya dengan ilmu yang dituangkan oleh Al Qur’an dan hadits. Kita harus  encuci buku-buku kita dari Israliyat yang ditulis oleh beberapa ahli ilmu terdahulu. Kita tidak memerlukan ilmu Bani Israil. Agama kita telah sempurna, tidak memerlukan syariat nenek moyang. Dan yang menjadi kewajiban kita adalah menjadikan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasul kita sebagai hakim,  pelurus, dan pengoreksi terhadap apa yang ada di dalam bukubuku Yahudi dan Nashrani. Al Qur’an telah jelas mengungkapkan hal ini dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Al Qur’an ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya.” (QS  An Naml: 76)

Aku berharap karya yang aku persembahkan buku ini bisa bermanfaat bagi hamba-hamba Allah. Bisa menutupi kebutuhan kepustakaan Islam, sehingga tidak perlu lagi menoleh pada kisah-kisah palsu dan dusta yang dijadikan pijakan oleh sebagian orang dan dijelaskan oleh sebagian ahli ilmu. Aku memohon kepada Allah agar memberiku niat yang ikhlas di dalamnya, memberiku pahala karenanya dengan kemurahan, kedermawanan dan rahmat-Nya, dan memberi taufik kepada para pembaca agar mereka memberikan doa yang baik untuk penulis.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin.

Dr. Umar Sulaiman Abdullah Al Asyqar
Fakultas Syari’ah Universitas Yordania
Amman


sumber: www.hasanalbanna.com



Mukadimah Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan Sunnah





Di dalam mukaddimah ini saya akan menjelaskan definisi kisah, kemudian saya juga akan memaparkan pentingnya kisah, terutama kisah dari Al Qur’an dan hadits nabawi.

Definisi Kisah

Kisah berasal dari bahasa Arab, yaitu ” ﻘﺻﻪ “, dan bentuk jamaknya adalah ” ﻘﺻﺺ “ dengan qaf dibaca kasrah. Kisah dalam bahasa Arab adalah berita-berita yang diriwayatkan dan diceritakan. Al Qur’an telah menamakan berita-berita umat terdahulu yang  disampaikan kepada kita dengan sebutan kisah. Firman Allah, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha: 99)
“Itu adalah sebagian dari berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang kami ceritakan kepadamu (Muhammad), di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang telah musnah.” (QS Huud: 100)
“Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Huud: 120)
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik.”(QS Yusuf: 3)
Dan Allah menamakan pemberitahuan Musa tentang peristiwa-peristiwa dirinya kepada bapak dua orang wanita yang telah dibantunya memberi minum ternak dengan sebutan kisah, “Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita darinya.” (QS Al Qashash: 25)
Asal kisah menurut orang Arab adalah penelusuran jejak. Orang yang ahli dalam urusan jejak berjalan di belakang orang yang hendak diungkap beritanya, maka dia menelusuri jejaknya sampai dia berhenti di tempat dia tinggal. Dan mengutarakan berita-berita disebut kisah karena pembawanya menelusuri peristiwa-peristiwa kisah seperti apa yang terjadi. Dia menelaah lafazh- lafazh dan makna-maknanya. Oleh karena itu, seseorang bukanlah pembawa kisah yang sebenarnya kecuali jika dia membawa peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sesuai  dengan  kejadian  sebenarnya.  Al Qur’an menamakan penelusuran jejak dengan qashash (kisah- kisah) dalam firman-Nya, “Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.” (QS Al Kahfi: 64). Yang dibicarakan dalam ayat ini adalah Musa dan temannya, ketika keduanya mengetahui bahwa tempat yang ditentukan oleh Allah bagi keduanya untuk menemui seorang hamba yang shalih telah terlewati, maka keduanya kembali menelusuri jejak mereka sendiri agar bisa kembali dengan jalan sama yang telah mereka lalui agar bisa sampai kepada hamba shalih tersebut.
Termasuk dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa, ‘Ikutilah dia’.” (QS Al Qashash: 7). Si pemberi perintah di sini adalah ibu Musa, kepada saudara perempuan Musa agar menelusuri jejak saudaranya, Musa. Dia ditaruh di peti lalu dihanyutkan di sungai. Demikian juga mengeksekusi pembunuh, yang disebut dengan qishash. Karena keluarga korban mengikuti perbuatan pembunuh, maka mereka memperlakukan pelaku seperti dia memperlakukan korban.[1]
Orang-orang Arab menganggap setiap pengutaraan berita sebagai kisah. Hanya saja, jika memperhatikan pemakaian ahli ilmu dan adab (sastra), maka didapatkan bahwa kisah merupakan warna tersendiri yang mempunyai tabiat khusus dari suatu cerita. Jadi, setiap kisah adalah berita dan tidak semua berita adalah kisah. Penciptaan langit, bumi, malaikat, dan jin yang Allah sampaikan kepada kita adalah berita, bukan kisah.  Nama-nama para Nabi dan Rasul serta nama-nama bapak mereka yang Allah sampaikan kepada kita adalah berita, bukan kisah. Adapun berita-berita para Rasul bersama kaum mereka, pergolakan antara kelompok yang baik dan buruk disebut dengan kisah dan juga berita.
Kisah didefinisikan dengan ilmu menceritakan peristiwa- peristiwa dan perbuatan-perbuatan dengan metode bahasa tertentu yang berujung pada target tertentu.
Kisah adalah ilmu sastra yang sangat tua umurnya. Selalu menyertai umat-umat manusia dari zaman primitif sampai masa puncak peradaban. Ia memiliki posisi yang istimewa di antara bidang-bidang (sastra lainnya), karena keluasan dan cakupannya terhadap tujuan-tujuan yang berbeda-beda. Metode bahasanya indah dan ringan bagi jiwa. Al Qur’an telah mencapai puncak kisah tertinggi dan terlengkap.[2]

Metode Kisah

Para pengkaji di dalam bidang kisah merangkum metode yang menjadi ciri pembeda antara kisah dengan bidang- bidang adab lainnya. Sebagian pengkaji telah menuangkan ciri-ciri tersebut sebagai berikut:
  1. Ciri umum bagi metode periwayatan, yaitu mengalir dan berantai di mana pembaca merasa digiring ke muara; dia menunggu dan menanti akhirnya.
  2. Kisah tersusun secara terangkai dan bersifat simpel, membuang perincian-perincian yang tidak perlu.
  3. Kisah mempunyai target sasaran utama yang bisa diraba secara tidak langsung dari konteks pemaparan.
  4. Ungkapan-ungkapannya mesti jelas dan mudah, karena pembaca lebih fokus kepada alur peristiwa kisah.
  5. Keragaman ungkapan antara lembut dan keras sesuai dengan kondisi dan kepribadian.
  6. Metode pemaparan beragam, antara dialog dan pemaparan.
  7. Di antara metode kisah adalah metode berlebih- lebihan yang terkadang dipakai untuk menarik  perhatian terhadap sisi-sisi penting, begitu pula metode keterkejutan dan isyarat yang membuka ruang bayangan.
  8. Cinta terkadang masuk ke dalam kisah karena kekuatannya sebagai faktor penunjang. Cinta merupakan perasaan humanis yang universal.[3]

Pentingnya Kisah

Kisah merupakan sebuah warna adab (sastra). Manusia memberinya perhatian tidak seperti kepada bidang yang lainnya. Kisah disukai oleh jiwa manusia, memiliki nilai pengaruh yang tinggi. Jiwa menggemarinya, hati menyukainya, serta telinga membuka pintunya lebar- lebar.
Karena posisinya yang penting, maka pada masa kini model-modelnya semakin beragam. Ada yang disebut riwayat, yaitu kisah yang panjang (bersambung), pemerannya banyak, dan terdapat jaringan peristiwa- peristiwa dan kejadian-kejadian. Ada kisah pendek yang sering disebut cerpen. Ada pula kisah fiksi, kisah nyata, kisah perlambang. Termasuk kisah fiksi adalah kisah- kisah tentang hewan (fabel) di mana penulis menjadikan pahlawannya adalah hewan-hewan yang bisa berbicara, berpikir, mengatur dan melontarkan kata-kata mutiara.
Dewasa ini banyak sekali penulisan kisah. Sebagian besar dirubah menjadi sandiwara-sandiwara dan film-film, yang memerankan peristiwa seperti kejadiannya atau seperti yang dibayangkan oleh pemiliknya. Ditampilkan di gedung-gedung bioskop dan layar TV. Dan kisah-kisah yang ditampilkan ini membawa akidah, pemikiran, akhlak dan nilai-nilai para penulisnya. Banyak negara mulai menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilainya melalui kisah-kisah yang difilmkan, melalui buku-buku dan majalah-majalah, untuk mengikat hati dan akal orang-orang agar menjadi pengikutnya yang mengalir di orbitnya.

Pentingnya Kisah Al Qur’an Dan Hadits

Kisah terbaik adalah kisah-kisah Al Qur’an yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu.” (QS Yusuf: 3). Dan kisah-kisah dari hadits nabawi berada setelah urutan kisah-kisah Al Qur’an.
Banyak orang yang terbiasa membaca kisah hanya untuk hiburan dan kenikmatan sesaat, karena mereka hanya mengetahui bahwa mayoritas kisah-kisah bukanlah wujud dari realita, semata-mata karangan dan imajinasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kisah yang tidak mungkin terjadi, seperti kisah khayalan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadiannya.  Kisah-kisah  rakyat  yang diceritakan dari orang-orang terdahulu, khususnya orang-orang Romawi dan Persia, termasuk di dalam kisah model ini, sering disebut dengan kisah takhayul. Termasuk dalam hal ini juga adalah kisah seribu satu malam. Di kalangan orang-orang Arab ada kisah Antarah dan kisah Abu Zaid Al Hilali. Kisah seperti ini masih mempunyai keberadaan yang kuat pada masa kini.  Penulis saat ini telah menemukan apa yang dinamakan dengan khayalan ilmiah, si penulis membayangkan sesuatu yang bisa dicapai oleh manusia pada masa yang akan datang dan memaparkan keadaan manusia pada waktu itu.
Kisah-kisah di dalam Al Qur’an dan hadits yang shalih, semuanya adalah kebenaran dan kejujuran. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi tanpa dikurangi dan ditambahi. “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu dengan sebenarnya.” (QS Al Kahfi: 13). “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (QS Ali Imran: 62). Kisah bukanlah suatu kebenaran kecuali jika ia disampaikan oleh penyampai tanpa tambahan di dalamnya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersucikan dari dusta. Maka, tidak mungkin Dia menceritakan kisah yang tidak terjadi. Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia menyaksikan dan melihat. Oleh karena itu, ketika Dia menyampaikan kisah kepada kita, maka Dia menyampaikan dengan ilmu sebagai Dzat yang menyaksikan dan melihat. “Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (QS Al A’raf: 7)
Jikalau manusia meyakini bahwa kisah-kisah Al Qur’an yang disampaikan kepada mereka dan kisah-kisah dari hadits Rasul yang sampai kepada mereka, semuanya adalah benar dan jujur, maka ia akan mempunyai pengaruh besar dalam meluruskan jiwa mereka. Ia bisa mengatur tabiat mereka dengan mengambil nasihat- nasihat dan pelajaran-pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Allah  telah  memerintahkan  Rasul-Nya  agar menyampaikan kisah-kisah yang diketahuinya kepada manusia, agar mereka merenungkan keadaan orang- orang yang telah berlalu, lalu mereka mengukur diri dengan mereka dan mengambil pelajaran untuk diri mereka. Jika mereka adalah orang-orang dzalim, maka mereka menjauhi jalan hidup mereka. Dan jika mereka adalah orang-orang baik, maka mereka harus diteladani.  “Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS Al A’raf: 176). “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran orang- orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah berita yang dibuat-buat.” (QS Yusuf: 111)
Para Rasul dan para dai mengambil pelajaran dari kisah orang-orang terdahulu. Kisah-kisah Al Qur’an dan hadits nabawi masih dan selalu menjadi bekal yang menyirami jiwa dan meneguhkan hati. Sebagaimana firman Allah, “Dan semua kisah dari Rasul-Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Hud: 120). Kehidupan manusia di muka bumi mempunyai kemiripan dalam kelurusan dan penyimpangannya. Contoh-contoh kemanusiaan, baik yang lurus maupun yang serong, adalah contoh-contoh yang berulang. Oleh karena itu, Al Qur’anul Karim dan hadits nabawi, kedua-duanya memberikan kepada kita  berita-berita di mana kita mendapati diri kita di dalamnya atau mendapati padanya orang-orang di sekeliling kita. Seolah-olah nash-nash itu di samping menceritakan kisah fulan juga menyampaikan kepada kita tentang ujian yang kita rasakan atau kemakmuran yang kita enyam atau ia menyampaikan kepada kita tentang pemimpin yang adil yang hidup di antara kita atau pemimpin yang congkak lagi lalim yang mondar- mandir sebagai perusak di bumi. Kadang ia menyampaikan kepada kita tentang kisah kemanusiaan yang biasa. Bisa jadi yang dibahas adalah seorang petani yang shalih, atau pedagang yang jujur dan amanah, atau seorang manusia yang penuh kasih sayang. Contoh ini bisa kita lihat pada seorang petani kenalan kita atau pedagang relasi kita atau seorang laki-laki di mana kita mendapatkan serpihan kasih sayangnya.
Kisah-kisah Al Qur’an dan hadits menampilkan potret nyata dan riil yang menggariskan ajaran-ajaran Al Qur’an dalam fenomena yang berdenyut seiring hidup itu sendiri. Dan banyak manusia yang melihat kebenaran melalui kenyataan riil secara lebih gamblang daripada melalui pembelajaran-pembelajaran yang ala kadarnya. Oleh karena itu, seseorang yang lurus kadang-kadang perilakunya lebih berpengaruh bagi orang lain, daripada pengaruh ucapannya.



[1] Makna kata ‘Qashash’ secara bahasa bisa dilihat di Al Mufradat Fi Gharibil Qur’an, hlm. 404. An-Nihayah Ibnul Atsir, 4/70, Lisanul Arab, 3/106, Al  Kulliyat, hlm . 734.
[2] Mu’jamul Ulumil Lughoh Al Arabiyah, Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, hlm. 320.
[3] Mu’jamul Ulumil Lughah, Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al Asyqar, hlm. 320.

sumber: www.hasanalbanna.com

Kisah Hajar dan Ismail (2)





Penjelasan Hadits 

Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak kita, Ismail, dan ibunya, Hajar, yang tinggal di tanah suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama yang tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan bumi tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina ke Makkah adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah setelah Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh dari Sarah manakala dirinya tidak merasa aman di sisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh hadits. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret bajunya di belakangnya untuk menghapus jejak kakinya agar Sarah tidak mengetahui ke mana dia pergi.
Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar memindahkan Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa penduduk.
Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang mendalam. Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan tetapi ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita melihat rahmat dan kebaikan ini pada hari ini secara jelas dan gamblang. Dengan didiami oleh Ismail, daerah itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah, syiar-syiar dan segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan Ismail memperoleh pahala dan balasan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.
 Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk, kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa berpikir untuk membangunkan rumah sebagai tempat berlindung keduanya. Dia juga tidak mencarikan orang-orang yang bersedia tinggal di sisinya untuk melindunginya dari ancaman para begal atau serangan binatang buas.
Allah telah memerintahkan Ibrahim agar meninggalkan keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti yang Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan keduanya  kepada  Allah, karena  Dialah yang memerintahkannya untuk melakukan itu. Tentunya, Dia mampu melindungi keduanya, memberi makan dan minum kepada keduanya, serta menghibur keterasingan  keduanya. Ibrahim tidak mempedulikan protes Hajar yang  membuntutinya.  Hajar  berkata,  “Engkau membiarkan kami dan pergi begitu saja?” Hajar mengulang itu berkali-kali, sementara Ibrahim tidak meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim membawa dirinya kepadanya. “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS Al Baqarah: 131)
Manakala Hajar merasa gagal mengorek jawaban, dia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Pada saat itu tenanglah hati dan jiwa Hajar. Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan keinginan-Nya.
Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika sampai di Tsaniyah dan tidak terlihat oleh Hajar, dia berhenti menghadap ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke langit dan berbisik kepada Tuhannya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam- tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari bauh-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Allah telah mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.
Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari. Dia minum dari kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi kurma dan air itu cepat habis. Ibu Ismail haus dan lapar. Anaknya pun ikut lapar dan haus bersamaan dengan lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu mendorongnya untuk mencari sesuatu yang bisa menghapus rasa hausnya dan menghidupi dirinya.
Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling dekat dengannya. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, maka dia akan naik ke tempat yang tinggi agar bisa leluasa memandang dan mencari apa yang dia inginkan.
Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang dengan cermat. Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah untuk menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia naik ke Marwah. Dia melihat seperti yang dia lakukan di bukit Shafa. Tak ada yang membantunya, tak ada yang menolongnya. Begitulah dia mondar-mandir di antara Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar-mandir. Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah.  “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (QS Al Baqarah: 158)
Setelah putaran ketujuh dia mendengar suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.” Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air pun memancar.
Ibu Ismail telah mencari air dari atas bukit-bukit yang tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu Ismail sangatlah besar sekali. Tidak ada air, itu berarti kematian untuknya dan putranya. Memancarnya air adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta kehidupan lembah di mana dia tinggal.
Menurut pengamatanku, Jibril menjelma dalam bentuk seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan berbicara kepadanya dan dia pun berbicara kepada Hajar. Sebagaimana Jibril juga pernah menjelma menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dilihat oleh para sahabat, dan mereka pun mendengarkan ucapannya. Hal ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat ketakutan.
Ibu Ismail, karena didorong oleh insting untuk mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak mungkin, maka dia membendung air itu hingga dia bisa mengisi kantong airnya. Seandainya dia membiarkannya mengalir dan berjalan, niscaya ia akan menjadi mata air yang mengalir. Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan Zamzam” –atau beliau bersabda, “Tidak menciduk air-” niscaya zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Allah memberikan air kepada ibu Ismail untuk menghapus dahaganya, dan air susunya kembali menetes. Dia pun bisa menyusui putranya. Malaikat menenangkannya, “Jangan takut terlantar.” Malaikat menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa bayinya akan membangun Baitullah bersama ayahnya dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap. Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah di dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah. Mereka melihat seekor burung berputar-putar di udara. Mereka mengetahui bahwa berputar-putarnya burung itu tidak lain karena di daerah itu terdapat air. Karena jika tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara seperti yang mereka saksikan itu adalah burung yang mengitari air dan mendatanginya. Hanya saja, mereka tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena mereka mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah tanpa air dan tanpa penghuni. Untuk memastikannya, mereka mengutus seseorang dari kalangan mereka. Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu Ismail. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka melihat air yang memancar dari bebatuan. Mereka takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu Ismail.
Ismail tumbuh dengan baik menjadi seorang pemuda di lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin, diimbangi oleh akhlak mulia dan sifat-sifat luhur. Orang- orang yang tinggal bersamanya menghormatinya dan mencintainya. Mereka menikahkannya dengan gadis mereka.
Ibu Ismail meninggal setelah Ismail menjadi seorang pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian adalah akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang menengok anaknya. Dia tidak menemukan Ismail di rumahnya. Ismail sedang keluar mencari rizki untuk keluarganya. Istri Ismail mengeluhkan kehidupannya. Manakala Ibrahim bertanya  tentangnya, dia memberitahukan bahwa mereka hidup dalam keadaan sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada istri Ismail agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan berpesan kepadanya agar dia merubah palang pintu rumahnya.
Istri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua yang singgah padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika pesannya yang disampaikan kepada suaminya berisi perintah untuk menceraikannya. Ismail mentaati pesan bapaknya, dan istrinya ditalaknya. Ibrahim melihat wanita tersebut tidak layak menjadi istri seorang Nabi sekaligus Rasul yang disiapkan untuk memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga, anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Istri yang memperpanjang keluhan dan hobi ngedumel tidak mungkin menjadi penopang suami yang memikul tugas- tugas besar.
Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu dengan seorang wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya menikah dengannya dan meminta anaknya agar mempertahankannya.  Ibrahim  bertanya  tentang kehidupan mereka. Istri Ismail menjawab, “Segala puji bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan.” Ibrahim bertanya tentang makanan dan minuman mereka. Dia menjawab, “Daging dan air.” Maka Ibrahim mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan air. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang mereka makan, niscaya Ibrahim akan mendoakannya juga sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah, bahwa penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan daging dan minum air. Padahal, selain mereka bisa berakibat celaka jika hanya makan daging dan air saja.
Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang mengunjungi anaknya dan mencari tahu tentang beritanya. Ibrahim mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak panah di bawah pohon itu, pohon di mana dulu Ibrahim meninggalkannya dengan ibunya pada saat mereka datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit kepadanya. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan anak kepada ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling memberi salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain sebagainya. Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan bahwa Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka Ismail bersegera melaksanakan perintah Allah. Ibrahim membangun Baitullah dengan bantuan Ismail. Sambil membangun keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah  dari  kami  (amal  kebaikan  kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)

Versi Taurat [1] 

Kisah ini terdapat di dalam Taurat. Akan tetapi, Anda tidak akan mendapatkan penjelasan dan perincian seperti yang ada di dalam hadits. Jika kamu membaca kisah Taurat dengan kacamata hadits, maka Anda akan menemukan bagaimana hadits membenarkan riwayat Taurat  dan  membongkar  penyelewengan  dan penggubahan yang menimpa kisah ini sepanjang masa.
Kisah ini tertulis dalam Ishah 16 dan Ishah 21 dalam Safar Takwin. Nashnya adalah, “Saray istri Abram [2]belum kunjung melahirkan anak. Dia memiliki hamba sahaya dari Mesir bernama Hajar. Saray berkata kepada Abram, “Tuhan belum mengizinkanku untuk melahirkan. Menikahlah dengan hamba sahayaku. Mudah-mudahan aku mempunyai anak darinya.” Abram mendengar ucapan Saray. Maka Saray, istri Abram, mengambil hamba sahayanya, Hajar Al Misriyah, setelah sepuluh tahun berlalu sejak Abram tinggal di bumi Kan’an. Saray memberikan Hajar kepada Abram, suaminya, agar memperistrinya. Maka Abram melakukannya dan Hajar hamil.
Manakala Saray melihat Hajar hamil, dia merasa rendah di depan matanya. Saray berkata kepada Abram, “Kedzalimanku atasmu. Aku memberikan hamba sahayaku kepadamu. Ketika aku melihatnya hamil, aku merasa rendah di matanya. Semoga Allah memutuskan antara diriku dengan dirimu.”
Abram berkata kepada Saray, “Itu dia hamba sahayamu di tanganmu. Lakukanlah apa yang menurutmu baik di matamu.” Maka Saray menghinakannya dan Hajar minggat dari sisinya.
Malaikat Tuhan mendapatkan Hajar di tanah lapang di sebuah mata air di jalan Syur. Malaikat bertanya, “Wahai Hajar hamba sahaya Saray, dari mana kamu datang dan kemana kamu pergi?” Hajar menjawab, “Aku minggat dari sisi majikanku, Saray.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Pulanglah kamu kepada majikanmu dan tunduklah di bawah kekuasaannya.”
Malaikat Tuhan berkata kepada Hajar, “Semoga keturunanmu banyak hingga tidak terhitung.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Inilah kamu yang sekarang hamil. Kamu akan melahirkan anak laki-laki. Kamu memanggil namanya Ismail. Sesungguhnya Tuhan telah mendengar kesengsaraanmu. Anakmu akan menjadi orang kuat. Tangannya di atas setiap orang dan tangan setiap orang di atasnya, dan di depan seluruh saudaranya, dia tenang.”
Lalu Hajar memanggil nama Tuhan yang berbincang dengannya, “Engkau adalah il Raay,” karena dia berkata, “Apakah di sini juga saya melihat setelah melihat, oleh karena itu sumurnya diberi nama sumur kaum Raay, inilah sumur itu di antara Qadisy dan Barid.” Lalu Hajar melahirkan anak laki-laki Abram. Abram memanggil anaknya yang dilahirkan oleh Hajar dengan nama Ismail. Pada saat Hajar melahirkan Ismail, umur Abram adalah 86 tahun.
Dalam Ishah 21 dalam Safar Takwin tertulis:
“Sarah melihat putra Hajar Al Misriyah sedang bergurau, Sarah berkata kepada Ibrahim, ‘Usirlah wanita itu dan anaknya, karena putra wanita hamba sahaya itu tidak berhak atas warisan di depan anakku Ishaq.” Ucapan yang sangat buruk dalam pandangan Ibrahim karena anaknya. Lalu Allah berfirman kepada Ibrahim, “Jangan menjadi buruk di matamu hanya karena anak laki-laki dan hamba sahayamu dalam segala ucapan Sarah kepadamu. Dengarkanlah ucapannya, karena kamu dianggap memiliki keturunan melalui Ishaq. Dan putra hamba sahayamu itu akan Aku jadikan sebagai umat, karena dia adalah keturunanmu.”
Pada pagi harinya Ibrahim bersiap-siap. Dia membawa roti dan kantong air lalu memberikannya kepada Hajar dengan meletakkan keduanya di pundak Hajar yang menggendong anak dan memerintahkannya pergi. Hajar pergi dan tersesat di daratan sumur tujuh. Ketika air yang di kantong telah habis, Hajar meninggalkan anaknya di bawah sebuah pohon. Hajar menjauh dan duduk membelakanginya sejauh lemparan busur. Dia berkata, “Aku tidak mau melihat kematian anak.” Hajar duduk membelakanginya dan menangis dengan keras. Lalu Allah mendengar suara anaknya dan Malaikat Allah memanggil Hajar dari langit. Dia berkata kepadanya, “Ada apa denganmu, wahai Hajar? Jangan takut, karena Allah telah mendengar suara anakmu seperti adanya. Bangkitlah, bawalah anakmu, kuatkan tanganmu padanya, karena aku akan menjadikannya umat yang besar.” Dan Allah membuka kedua mata Hajar maka dia melihat sumur air. Dia mendekatinya dan memenuhi kantongnya dengan air dan memberi minum anaknya. Allah bersama anak itu, hingga dia menjadi besar dan tinggal di daratan. Dia tumbuh menjadi seorang pemanah. Dia tinggal di daratan Faran dan ibunya menikahkannya dengan seorang wanita dari Mesir.”

Komentar Menyangkut Kisah Dalam Taurat 

Ada beberapa poin dalam kisah ini yang benar karena sesuai dengan pemberitaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam hadits yang kami sebutkan dan hadits- hadits lainnya. Di antaranya, bahwa Sarah memberikan hamba sahayanya Hajar kepada Ibrahim dengan harapan agar Ibrahim bisa memperoleh anak darinya dan Hajar hamil setelah Ibrahim menikahinya; bahwa Hajar menjadi percaya diri ketika dia hamil, sementara majikannya menjadi turun pamornya di matanya; bahwa Sarah marah terhadap Hajar yang kemudian minggat dari hadapannya; bahwa Sarah meminta Ibrahim untuk mengusir Hajar dan putranya, sehingga Ibrahim mengeluarkan Hajar ke daratan dengan dibekali sedikit makanan dan kantong air; bahwa Hajar bersedih ketika airnya habis; dan bahwa Malaikat Tuhan turun dan menenangkannya serta memberitahukan tempat air kepadanya.
Tidaklah benar apa yang disebutkan dalam kisah Taurat bahwa Ibrahim memberi Hajar sekantong air dan makanan dan memintanya membawanya, dan bahwa Hajar pergi tak tentu arah di daratan tersebut. Yang benar adalah seperti yang tercantum di dalam hadits, bahwa Ibrahim membawa sekantong air dan tempat bekal berisi kurma dan dia meninggalkan Hajar beserta anaknya di sebuah lembah tandus di Baitullah Al Haram. Apa yang disebutkan di dalam hadits tentang keadaan Hajar, habisnya air, sa’i Hajar di antara Shafa dan Marwah, datangnya Jibril yang memancarkan air, dan perincian-perincian lain tidaklah disinggung dalam Taurat. Apa yang disebutkan dalam Taurat tidaklah secermat dan sejelas seperti dalam hadits.
Tidak benar kalau Sarah menyuruh Ibrahim mengusir Ismail ketika dia melihatnya bergurau, dan bahwa Sarah menolak Ismail menjadi ahli waris bersama Ishaq anaknya. Karena, pada saat Ismail dibawa oleh bapaknya ke Makkah, ia masih seorang bayi yang menyusu dan belum sampai pada umur yang memungkinkan untuk bergurau. Adapun Ishaq, dia pada saat itu belum dilahirkan.
Apa yang disebutkan dalam Taurat bahwa Ibrahim menggauli Hajar setelah sepuluh tahun dari tinggalnya di bumi Kan’an; bahwa minggatnya Hajar dari Sarah adalah ke mata air di jalan Syur, dan Malaikat meminta agar Hajar kembali kepada Sarah dan patuh kepadanya; dan bahwa Ibrahim pada waktu Ismail lahir berumur 86 tahun; semua itu Allah lebih mengetahui kebenarannya.

Pelajaran-pelajaran dan Faidah-faidah Hadits 
  1. Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta yang tidak mungkin kita ketahui seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul Atiq, dan lain sebagainya.
  2. Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar membawa istri dan anaknya ke tempat itu, walaupun perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang hamba bisa jadi membenci sesuatu, sementara kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
  3. Allah menjaga dan melindungi para walinya sebagaimana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
  4. Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan usaha seorang hamba dalam perkara yang mengandung kebaikannya. Hajar mencari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup putranya, walaupun dia  berserah  diri  kepada perintah Allah.
  5. Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang tuli, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
  6. Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada sesuatu yang baik baginya.
  7. Ngedumel karena minimnya rizki dan sulitnya hidup bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim membenci sifat ngedumel dari istri Ismail akan beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya, sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas nikmat Allah termasuk akhlak orang-orang shalih. Oleh karena itu, Ibrahim memuji istri Ismail yang ridha dan bersyukur.
  8. Doa orang shalih agar makanan dan minuman menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi berkah.
  9. Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada waktu  bertemu  orang  yang  dicintai. Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya bertemu.
  10. Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah seorang pemanah.”[3]
  11. Saling tolong menolong di antara anggota keluarga dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail membantu bapaknya membangun Ka’bah.
  12. Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada ayahnya untuk menceraikan istri pertamanya dan menahan istri keduanya. Jika ayah yang meminta mentalak istri dengan pertimbangan-pertimbangan Islamiah seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh menolak.
  13. Ismail adalah bapak orang Arab Musta’ribah, yaitu Arab Hejaz. Adapun kabilah–kabilah Himyar, yaitu Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan. Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari banyak kabilah. Di antara mereka adalah ‘Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan. Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah.[4] Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Ismail adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat belas tahun.[5]
  14. Koreksi Al Qur’an dan hadits yang shahih terhadap kesalahan dan penyimpangan Taurat.

[1] Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Musa. Ia telah mengalami banyak penyimpangan, dan sisa-sisanya terdapat di dalam kitab yang diberi nama Taurat di kitab-kitab lima yang pertama, yang dinamakan dengan nama syariat. Orang-orang Yahudi yang menulisnya telah banyak melakukan penambahan dan semuanya mereka beri nama Taurat dengan perselisihan di antara mereka, mana yang diterima dan mana yang ditolak.
[2] Saray adalah nama Sarah sebelumnya, dan Abram adalah nama Ibrahim sebelumnya. Taurat menyatakan bahwa pergantian kedua nama itu dengan perintah Allah.
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih-nya. Lihat no. 97 dan 3371.
[4] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120, 2/165.
[5] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2581.

sumber:www.hasanalbanna.com