Pengantar
Ini
adalah kisah yang panjang dan alurnya mengalir jelas. Peristiwanya
gamblang, yang menceritakan tentang bapak kita, Ismail bin Khalilullah
Ibrahim ‘Alayhi Salam dan tentang ibu kita, Hajar Ummu Ismail. Semua
orang Arab adalah keturunan Ismail. Ada yang menyatakan bahwa sebagian
orang Arab berasal dari asal-usul Arab kuno yang bukan anak keturunan
Ismail. Ibu kita, Hajar, adalah wanita Mesir yang dihadiahkan oleh
penguasa dzalim Mesir kepada Sarah dalam sebuah kisah yang akan
disebutkan selanjutnya.
Manakala Ibrahim belum kunjung
dikaruniai anak dari istrinya, Sarah, maka Sarah memberikan hamba
sahayanya kepada Ibrahim untuk dinikahi dengan harapan bahwa darinya
Allah akan memberi anak. Hajar pun hamil dan melahirkan Ismail di bumi
yang penuh berkah, Palestina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menceritakan kisah Hajar kepada kita, apa yang terjadi antara dia
dengan Sarah dan bagaimana Allah memerintahkan Ibrahim agar pindah
bersama Hajar dan Ismail ke belahan bumi termulia (Makkah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menjelaskan kondisi tempat di mana Hajar dan putranya, Ismail, berdiam.
Beliau menjelaskan kepada kita tentang Ibrahim yang meninggalkan
keduanya di tempat yang sepi, tanpa makanan, minuman dan penduduk.
Beliau juga menjelaskan apa yang terjadi dengan Hajar dan Ismail
sepeninggal Ibrahim sampai akhirnya Ibrahim dan Ismail membangun
Baitullah Al Haram sebagai rumah pertama yang diletakkan untuk manusia.
Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya
dari Said bin Jubair yang berkata bahwa Ibnu Abbas berkata, “Wanita
pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibu Ismail. Hal itu ia lakukan
agar dapat menutupi jejak kakinya dari Sarah. Kemudian Ibrahim membawa
istri dan putranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga akhirnya
Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi sebuah pohon
besar di atas sumur Zamzam di bagian atas Masjidil Haram. Pada saat itu
Makkah tidak berpenghuni seorang pun, dan tidak ada air. Beliau
meninggalkan keduanya, juga meletakkan sebuah kantong berisi kurma dan
kantong kulit berisi air. Ketika Ibrahim melangkah pergi, Hajar
menyusulnya seraya bertanya, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi?
Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang
manusia pun dan tidak ada sesuatu pun?” Hajar terus-menerus menanyakan
hal itu, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Maka Hajar bertanya
kembali, “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?” Ibrahim menjawab,
“Ya.” Hajar pun berucap, “Kalau memang demikian, Dia tidak akan
mengabaikan kami.” Selanjutnya Hajar kembali.
Ibrahim terus berjalan hingga ketika
sampai di sebuah bukit di mana mereka tidak melihatnya, beliau
menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa kalimat
seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan, “Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanam- tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berikanlah rizki kepada mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan
mereka bersyukur.” (QS Ibrahim: 37)
Hajar menyusui Ismail dan meminum dari
air yang berada di dalam kantong kulit. Air sudah habis, ia merasa
kehausan, demikian pula putranya yang merengek-rengek kehausan. Ia pun
pergi karena tidak tega melihatnya. Hingga ia menemukan Shafa, gunung
yang paling dekat dengannya. Maka ia berdiri di atasnya, menghadap ke
lembah sambil melihat-lihat adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat
seorang pun. Setelah turun dari Shafa, ia sampai di lembah, ia
mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang
mati-matian, hingga berhasil melewati lembah. Lalu dia mendatangi
Marwah, berdiri di atasnya sembari melihat apakah ada seseorang yang
dapat dilihatnya, tetapi dia tetap tidak melihat seorang pun. Dia
melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, “Karena hal inilah orang-orang melakukan sa’i di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”
Ketika mendekati Marwah, ia mendengar
sebuah suara. Ia pun berkata kepada dirinya, “Diam. Kemudian ia berusaha
mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya. Lalu ia berkata, “Engkau
telah memperdengarkan. Adakah Engkau dapat menolong?” Tiba-tiba ia
mendapatkan Malaikat di tempat sumber air Zamzam. Kemudian Malaikat itu
menggali tanah dengan tumitnya – dalam riwayat lain, dengan sayapnya-
hingga muncullah air. Ia membendung air dengan tangannya. Ia menciduk
dan memasukkan air itu ke kantongnya. Air itu terus mengalir deras
setelah ia menciduknya.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga
Allah melimpahkan rahmat kepada ibu Ismail, jika saja ia membiarkan
Zamzam.” Atau beliau bersabda, ”Seandainya ia tidak menciduk airnya,
niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Lebih lanjut, Ibnu Abbas mengatakan
bahwa kemudian ia meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu Malaikat
berkata kepadanya, “Janganlah engkau khawatir akan disia-siakan, karena
di sini terdapat sebuah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan
bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan
penduduknya.” Posisi rumah Allah itu terletak lebih tinggi dari
permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga
mengikis bagian kiri dan kanannya.
Kondisi ibu Ismail terus seperti itu
sampai sekelompok Bani Jurhum atau sebuah keluarga dari kalangan Bani
Jurhum melewati mereka. Mereka datang melalui jalan Keda’. Kemudian
mereka mendiami daerah Makkah yang paling bawah. Mereka melihat seekor
burung berputar di angkasa, mereka berkata, “Burung itu pasti sedang
mengitari air. Kita mengenal bahwa di lembah ini tidak ada air.” Mereka
pun mengutus satu atau dua orang. Ternyata utusan itu menemukan air.
Lalu mereka kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka
mereka pun datang. Ibnu Abbas selanjutnya menceritakan, “Ibu Ismail
ketika itu masih berada di sumber air tersebut. Maka mereka pun bertanya
kepadanya, ‘Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah di sini?’ ’Ya,
tetapi kalian tidak berhak atas air ini,’ jawab ibu Ismail. Mereka pun
menyahut, ’Baiklah.’ Kemudian, lanjut Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun bersabda, “Maka ibu Ismail menerima hal itu, karena ia memerlukan teman.”
Mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga
mereka agar ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Hingga
berdirilah beberapa rumah. Akhirnya sang bayi (Ismail) pun tumbuh besar
dan belajar bahasa Arab dari mereka, serta menjadi orang yang paling
dihargai dan dikagumi ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa
mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka.
Setelah itu ibu Ismail meninggal dunia.
Setelah Ismail menikah, Ibrahim datang untuk mencari yang dulu
ditinggalkannya, tetapi ia tidak menemukan Ismail di sana. Lalu Ibrahim
menanyakan keberadaan Ismail kepada istrinya (menantu Ibrahim). Istri
Ismail menjawab, “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Kemudian
Ibrahim menanyakan perihal kehidupan dan keadaan mereka, maka istrinya
menjawab, “Kami berada dalam kondisi yang buruk. Kami hidup dalam
kesusahan dan kesulitan.” Ia mengeluh kepada Ibrahim. Ibrahim pun
berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan
kepadanya agar mengubah palang pintunya.” Ketika Ismail datang,
seolah-olah ia merasakan sesuatu, kemudian ia bertanya, “Apakah ada
orang yang datang mengunjungimu?” “Ya, kami didatangi seorang yang sudah
tua, begini dan begitu, lalu ia menanyakan kepada kami mengenai dirimu,
dan aku memberitahukannya. Selain itu, ia pun menanyakan ihwal
kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab bahwa kita hidup dalam
kesulitan dan kesusahan,” jawab istrinya.
“Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?”
tanya Ismail. Istrinya menjawab, “Ia menitipkan salam kepadaku untuk aku
sampaikan kepadamu dan menyuruhmu agar mengubah palang pintu rumahmu.”
Ismail pun berujar, “Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk
menceraikanmu. Karenanya, kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka
Ismail menceraikannya, lalu mengawini wanita lain dari Bani Jurhum.
Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama
beberapa waktu. Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga
mendapatinya. Kemudian ia menemui istrinya dan menanyakan perihal
keadaan Ismail. Maka istrinya menjawab, “Ia sedang pergi mencari nafkah
untuk kami.” “Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim.
Istri Ismail menjawab, “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya
memuji (bersyukur kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian
Ibrahim bertanya, “Apa yang kalian makan?” Istri Ismail menjawab, “Kami
memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut Ibrahim. Istri Ismail
menjawab, “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkatilah mereka
pada daging dan air.”
Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Pada
saat itu mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian. Seandainya
mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka
diberikan berkah pada biji-bijian itu.” Lebih lanjut Ibnu Abbas
berkata, “di luar Makkah, kedua jenis itu (daging dan air) bisa
didapatkan dengan mudah, hanya saja keduanya tidak cocok (sebagai
makanan pokok).” Ibrahim berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan
salamku kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh palang pintunya.”
Ketika datang, Ismail bertanya, “Apakah ada orang yang datang
mengunjungimu?” Istrinya menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan
sangat bagus – seraya memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku
perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itu ia menanyakan perihal
kehidupan kita, maka aku menjawab bahwa kita baik-baik saja.”
“Apakah ia berpesan sesuatu hal
kepadamu?” tanya Ismail. Istrinya menjawab, “Ya, ia menyampaikan salam
kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh palang pintumu.” Lalu Ismail
berkata, “Ia adalah ayahku. Engkaulah palang pintu yang dimaksud. Ia
menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.”
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka
selama beberapa waktu. Setelah itu ia datang kembali, ketika itu Ismail
tengah meraut anak panah di bawah pohon besar dekat sumur Zamzam.
Ketika melihatnya, Ismail bangkit. Keduanya melakukan apa yang biasa
dilakukan oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya jika bertemu.
Ibrahim berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkan
sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Tuhanmu
itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya, “Apakah engkau akan
membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim
bertutur, Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membangun sebuah rumah
di sini.” Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang letaknya lebih tinggi
dari sekelilingnya.
Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya
bahwa pada saat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail
mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Ketika bangunan itu sudah
tinggi, dia meletakkan sebongkah batu untuk dijadikan pijakannya.
Ibrahim berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail
menyodorkan batu-batu kepadanya. Keduanya pun berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)
Ibnu Abbas meneruskan, bahwa keduanya terus membangun hingga menyelesaikan seluruh bangunan Baitullah. Keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)
Dalam riwayat lain dalam Shahih
dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika terjadi apa yang
terjadi antara Ibrahim dan keluarganya, Ibrahim membawa pergi Ismail dan
ibunya dan mereka membawa kantong air. Ibu Ismail minum air dari
kantong itu dan menyusui anaknya, sampai Ibrahim tiba di Makkah. Lalu
Ibrahim meletakkannya di bawah rindang pohon besar. Ibrahim pun
meninggalkannya untuk pulang kepada keluarganya. Ibu Ismail
menguntitnya. Sesampainya di Keda’, ibu Ismail memanggilnya, “Wahai
Ibrahim, kepada siapa kamu meninggalkan kami?” Ibrahim menjawab,
“KepadaAllah.” Ibu Ismail menjawab, “Aku rela dengan Allah.”
Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail
kembali, meminum air itu dan menyusui anaknya. Manakala air telah habis,
dia berkata, ‘Sebaiknya aku pergi memeriksa sekeliling, mungkin ada
orang lain di sekitar sini.” Lalu ibu Ismail pergi. Dia naik ke bukit
Shafa. Dia melihat- lihat apakah ada seseorang. Tetapi tak seorang pun
yang dilihatnya. (Lalu dia turun) ketika sampai di lembah, dia
berlari-lari kecil. Dia mendatangi Marwah. Dia melakukan hal itu
sebanyak tujuh kali putaran. Kemudian ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku
kembali menengok anakku, apa yang dilakukannya?’ Ibu Ismail pulang
menengok putranya, ternyata putranya masih dalam keadaan seperti semula.
Dia mengerang-erang hampir mati kehausan, maka ibu Ismail tidak tenang
karenanya. Ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku pergi melihat-lihat
mungkin ada seseorang.’ Lalu dia pergi dan naik ke bukit Shafa, dia
melihat dan melihat, tetapi tidak seorang pun yang dilihatnya sampai dia
menggenapkan menjadi tujuh kali (putaran). Kemudian ibu Ismail berkata,
’Sebaiknya aku kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan anakku.’
Ternyata dia mendengar suara, dia berkata, ’Bantulah aku jika kamu
membawa kebaikan.’ Ternyata dia adalah Jibril. Ibnu Abbas berkata, “Lalu
Jibril mengisyaratkan dengan tumitnya begini. Dia menjejak bumi dengan
tumitnya. Maka air memancar. Ibu Ismail terkagum-kagum, lalu dia
menciduki air itu.”
Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim berkata, “Seandainya dia membiarkannya, niscaya air itu akan mengalir.” Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail minum air itu dan menyusui anaknya.”
Lanjut Ibnu Abbas, “Lalu sekelompok
orang dari Jurhum melewati dasar lembah. Mereka melihat burung. Mereka
terheran-heran seraya berkata, ‘Burung itu pasti terbang di atas air.’
Mereka pun mengutus seorang utusan. Utusan itu melihat dan ternyata ada
air. Lalu dia kembali dan menyampaikan hal itu kepada mereka. Maka
mereka mendatanginya. Mereka bertanya, “Wahai Ibu Ismail, apakah engkau
berkenan jika kami menyertaimu atau tinggal bersamamu?” Ismail beranjak
dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari mereka.
Ibnu Abbas meneruskan, “Ibrahim ingin
berkunjung. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku akan menengok anakku.’
Ibrahim datang, dia memberi salam dan berkata, ’Di mana Ismail?’
Istrinya menjawab, ’Pergi berburu.’ Ibrahim berkata, ’Jika dia pulang
katakan kepadanya agar mengubah palang pintunya.’ Ketika Ismail datang,
istrinya menyampaikan perihal kejadian yang baru dialaminya. Lalu Ismail
berkata, “Kamulah orang yang dimaksud. Pulanglah kamu kepada
keluargamu.”
Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi.
Dia berkata kepada keluarganya, ’Aku akan menengok anakku.’ Ibrahim pun
datang dan bertanya, ’Di mana Ismail?’ Istrinya menjawab, ’Pergi
berburu.’ Istrinya melanjutkan, ’Singgahlah untuk makan dan minum.’
Ibrahim bertanya, ’Apakah makanan dan minuman kalian?’ Istri Ismail
menjawab, ’Makanan kami adalah daging dan minuman kami adalah air.’
Ibrahim berkata, ’Ya Allah, berkahilah mereka pada makanan dan minuman
mereka.’ Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Keberkahan dengan doa Ibrahim ‘Alayhi Salam.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Kemudian
Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku
hendak menengok anakku.’ Ibrahim datang pada saat Ismail sedang meraut
anak panah di belakang Zamzam. Ibrahim berkata, ’Wahai Ismail,
sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan kepadaku agar aku membangun rumah
untuk-Nya.’ Ismail menjawab, ’Taatilah perintah Tuhanmu.’ Ibrahim
berkata, ’Dia telah memerintahkanku agar kamu membantuku.’ Ismail
menjawab, ’Kalau begitu akan aku lakukan.’ Atau sebagaimana yang dia
katakan.
Ibnu Abbas berkata, “Lalu keduanya
berdiri. Ibrahim membangun sementara Ismail menyodorkan batu kepadanya,
dan keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya di dalam Kitabul Anbiya’,
bab ‘Dan Allah mengangkat Ibrahim’ (QS An Nisa: 125), 6/396, no. 3364.
Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan jalan-jalan periwayatannya dan
imam-imam yang meriwayatkannya dalam Fathul Bari, 6/399.
Ucapan Ibnu Abbas di dalam hadits ini menunjukkan bahwa dia mengangkatnya (menisbatkannya) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Kalaupun Ibnu Abbas tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam secara langsung, itu berarti dia mendengar dari sahabat lain. Maka hadits ini termasuk mursal sahabi (hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang tidak dia saksikan atau dengar sendiri dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam). Para ulama telah sepakat bahwa mursal sahabi tetap sah bila dijadikan sebagai dalil.
sumber:www.hasanalbanna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar