Kisah Musa dan Khidhir





Pengantar

Kisah Musa dengan Khidhir yang disebutkan dalam surat Al Kahfi termasuk kisah yang utama. Musa pergi dari kotanya untuk mencari ilmu ketika Tuhannya memberitahukan kepadanya bahwa di bumi ini terdapat seseorang yang lebih alim darinya. Dalam Sunnah Nabi terdapat tambahan keterangan dari apa yang disebutkan oleh Al Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita sebab perginya Musa dari kotanya, sebagaimana beliau menyampaikan kepada kita tentang nama hamba shalih yang dicari-cari Musa, dan sebagian dari ucapannya dan keadaannya.

Nash Hadits

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya, dari Said bin Jubair. Ia bercerita, ”Aku pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas, bahwa Nauf Al Bikali mengatakan bahwa Musa, sahabat Khidhir tersebut, bukanlah Musa dari sahabat Bani Israil. Maka Ibnu Abbas pun berkata, “Musuh Allah itu telah berdusta.” Ubay bin Kaab pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Sesungguhnya Musa pernah berdiri memberikan ceramah kepada Bani Israil, lalu ia ditanya, ‘Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?’ Ia menjawab, ’Aku.’ Maka Allah mencelanya, karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya, ’Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang berada di tempat pertemuan dua laut, yang ia lebih berilmu daripada dirimu.’ Musa berkata, ’Ya Tuhanku, bagaimana bisa aku menemuinya?’ Dia berfirman, ’Pergilah dengan membawa seekor ikan, dan letakkanlah ia di dalam keranjang. Di mana ikan itu hilang, maka di situlah Khidhir itu berada.’
Maka Musa mengambil seekor ikan dan meletakkannya di dalam keranjang. Lalu dia pergi bersama seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun. Ketika keduanya mendatangi batu karang, keduanya merebahkan kepala mereka dan tertidur. Ikan itu menggelepar di dalam keranjang, hingga keluar darinya dan jatuh ke laut. “Kemudian ikan itu mengambil jalannya ke laut.” (QS. Al Kahfi: 61). Allah Subhanahu wa Ta’ala menahan jalannya air dari ikan itu, maka jadilah air itu seperti lingkaran. Kemudian sahabat Musa (Yusya’) terbangun dan lupa memberitahukan kepada Musa tentang ikan itu. Mereka terus berjalan menempuh perjalanan siang dan malam. Pada keesokan harinya, Musa berkata kepada pemuda itu, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al Kahfi: 62). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan bahwa Musa tidak merasa kelelahan sehingga ia berhasil mencapai tempat yang ditunjukkan oleh Allah Taala. Maka sahabatnya itu berkata, “Tahukah engkau, ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku telah lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang menjadikanku lupa untuk menceritakannya kecuali setan, dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” (QS. Al Kahfi: 63). Beliau berkata, “Ikan itu memperoleh jalan keluar, tetapi bagi Musa dan sahabatnya, yang demikian itu merupakan kejadian yang luar biasa.” Maka Musa berkata kepadanya, “Itulah tempat yang kita cari.’ Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.” (QS. Al Kahfi: 64)
Lebih lanjut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menceritakan, “Kemudian mereka berdua kembali lagi mengikuti jejak mereka semula hingga akhirnya sampai ke batu karang. Tiba-tiba ia mendapati seseorang yang mengenakan pakaian rapi. Musa mengucapkan salam kepadanya.” Khidhir pun berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan kedamaian di negerimu ini.” “Aku Musa,” paparnya. Khidhir bertanya, “Musa pemimpin Bani Israil?”
Musa menjawab, “Ya. Aku datang kepadamu supaya engkau mengajarkan kepadaku apa yang engkau ketahui.” “Khidhir menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku (QS. Al Kahfi: 67). Hai Musa, aku mempunyai ilmu yang diberikan dari ilmu Allah. Dia mengajariku hAl hal yang tidak engkau ketahui. Dan engkau pun mempunyai ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang tidak kumiliki.” Maka Musa berkata, “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun” (QS. Al Kahfi: 69).” Maka Khidhir berkata kepada Musa, “Janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.” (QS. Al Kahfi: 70)
Maka berjalanlah keduanya. Mereka berjalan menelusuri pantai, hingga akhirnya sebuah perahu melintasi keduanya. Lalu keduanya meminta agar pemiliknya mau mengantarnya. Mereka mengetahui bahwa orang itu adalah Khidhir. Mereka pun membawa keduanya tanpa upah. Ketika keduanya menaiki perahu itu, Musa merasa terkejut karena Khidhir melubangi perahu tersebut dengan kapak. Musa pun berkata, “Orang-orang itu telah membawa kita tanpa upah, tetapi engkau malah melubangi perahu mereka, “Mengapa engkau melubangi perahu itu yang akibatnya engkau menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah melakukan suatu kesalahan yang besar.” (QS. Al Kahfi: 71) “Khidhir berkata, ‘Bukankah aku telah berkata, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku.” (QS. Al Kahfi: 72). “Musa berkata, ‘Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al Kahfi: 73)
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Yang pertama itu dilakukan Musa karena lupa. Lalu ada burung hinggap di tepi perahu dan minum sekali atau dua kali patokan ke laut. Maka Khidhir berkata kepada Musa, ‘Jika ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah, maka ilmu kita itu tidak lain hanyalah seperti air yang diambil oleh burung itu dengan paruhnya dari laut.”
Setelah itu keduanya keluar dari perahu. Ketika keduanya sedang berjalan di tepi laut, Khidhir melihat seorang anak yang tengah bermain dengan anak-anak lainnya. Maka Khidhir menjambak rambut anak itu dengan tangannya dan membunuhnya. Musa berkata kepada Khidhir, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang bersih, bukan karena ia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang munkar.’ Khidhir berkata, ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al Kahfi: 74-75). Yang kedua ini lebih parah dari yang pertama.
Musa berkata, ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah dua kali ini, maka janganlah engkau memperbolehkan diriku menyertaimu, sesungguhnya engkau telah cukup memberikan udzur kepadaku.” (QS. Al Kahfi: 76). “Maka keduanya berjalan hingga ketika mereka sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.” (QS. Al Kahfi: 77) –yakni, miring. Lalu Khidhir berdiri dan, “Khidhir menegakkan dinding itu,” dengan tangannya. Selanjutnya Musa berkata, “Kita telah mendatangi suatu kaum tetapi mereka tidak mau menjamu kita dan tidak pula menyambut kita, ‘Jikalau engkau mau, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu.” (QS. Al Kahfi: 77) “Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara diriku dan dirimu, aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya.” (QS. Al Kahfi: 78)
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Kami ingin Musa bisa bersabar sehingga Allah menceritakan kepada kita tentang keduanya.”
Said bin Jubair menceritakan, Ibnu Abbas membaca: “Dan di hadapan mereka terdapat seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera yang baik dengan cara yang tidak benar.” (QS. Al Kahfi: 79). Ia juga membaca seperti ini, “Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah mukmin.” (QS. Al Kahfi: 80)
Dalam riwayat lain dalam Shahihain dari Said bin Jubair berkata, “Kami sedang bersama Ibnu Abbas di rumahnya. Dia berkata, ‘Bertanyalah kalian kepadaku.” Aku berkata, ’Wahai Ibnu Abbas, semoga Allah menjadikanku sebagai penggantimu. Di Kufah terdapat seorang tukang cerita yang bernama Nauf. Dia mengklaim bahwa dia bukan Musa Bani Israil. Adapun Amru, dia berkata kepadaku, ‘Musuh Allah telah dusta.’ Adapun Ya’la, dia berkata kepadaku, Ibnu Abbas berkata, Ubay bin Kaab menyampaikan kepadaku, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Musa ‘Alaihi Salam, suatu hari dia menasihati kaumnya sampai ketika air mata bercucuran dan hati menjadi lunak, dia pulang. Seorang laki-laki menyusulnya, dia berkata kepada Musa, ‘Wahai Rasulullah, apakah di bumi ini terdapat orang yang lebih alim darimu?’ Musa menjawab, ’Tidak ada.’ Maka Allah menyalahkan Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Dikatakan kepada Musa, “Ada yang lebih alim darimu.” Musa bertanya, “Ya Tuhanku, di mana?” Allah menjawab, “Di tempat bertemunya dua laut.
Musa berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah untukku sebuah tanda yang bisa aku kenal.” Amru berkata kepadaku bahwa Allah menjawab, “Di tempat di mana ikan meninggalkanmu.” Ya’la berkata kepadaku bahwa Allah menjawab, “Ambillah ikan yang telah mati yang bias ditiupkan ruh kepadanya.” Maka Musa membawa ikan dan meletakkannya di dalam keranjang. Musa berkata kepada pelayannya, “Aku tidak membebanimu apa pun kecuali kamu harus memberitahuku jika ikan itu lepas darimu.” Pelayan menjawab, “Bukan beban berat.” Itulah firman Allah Azza wa Jalla, “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya.” (QS. Al Kahfi: 60). Dan murid tersebut adalah Yusya’ bin Nun. Riwayat ini bukan dari Said.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meneruskan, “Manakala Musa berteduh di bawah batu besar di tempat Tsaryan (yang basah), tiba-tiba ikan itu berontak, sementara Musa sedang tidur. Maka muridnya berkata, “Aku tidak akan membangunkannya.” Tetapi ketika Musa bangun, dia lupa memberitahukan kepadanya. Ikan itu berontak hingga melompat ke laut. Allah menahan jalannya air dari ikan itu sehingga bekasnya seolah-olah di batu.” Amru berkata kepadaku bahwa bekasnya seolah-olah di batu. Amru melingkarkan antara kedua ibu jarinya dan kedua telunjuknya.
Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al Kahfi: 62). Dia berkata, “Allah telah menghentikan keletihan darimu.” Riwayat ini bukan dari Said. Yusya’ memberitahu Musa, lalu keduanya pun kembali dan menemukan Khidhir. Usman bin Abu Sulaiman berkata kepadaku, “Khidhir duduk di atas permadani hijau di tengah laut.” Said bin Jubair berkata, “Berselimut kain, salah satu ujungnya di bawah kakinya dan ujung lainnya di bawah kepalanya.” Musa mengucapkan salam kepadanya. Khidhir membuka wajahnya dan berkata, “Apakah di negerimu ada keselamatan? Siapa kamu?” Musa menjawab, “Aku adalah Musa.” Khidhir bertanya, “Musa Bani Israil?” Musa menjawab, “Ya.” Khidhir bertanya, “Apa keperluanmu?” Musa menjawab, “Aku datang agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” Khidhir berkata, “Apakah kamu belum merasa cukup? Taurat ada di tanganmu dan wahyu datang kepadamu. Wahai Musa, sesungguhnya aku memiliki ilmu yang tidak sepatutnya kamu ketahui, dan sesungguhnya kamu memiliki ilmu yang tidak sepatutnya aku ketahui.” Lalu datanglah seekor burung yang mengambil air laut dengan paruhnya. Khidhir berkata, “Demi Allah, ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah hanyalah seperti apa yang diambil burung itu dari laut dengan paruhnya.”
Ketika keduanya naik perahu dan mendapati perahu- perahu kecil yang menyeberangkan penghuni pantai ini ke pantai itu, mereka mengenalnya. Mereka berkata, “Hamba Allah yang shalih.” Dia berkata, “Kami bertanya kepada Said, “Khidhir?” Dia menjawab, “Ya.” Mereka berkata, “Kami tidak meminta ongkos.” Maka Khidhir melubanginya dan menancapkan patok kepadanya.
Musa berkata, “Mengapa kamu melubangi perahu itu yang berakibat para penumpangnya akan tenggelam. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan kesalahan besar.” (QS. Al Kahfi: 71). Mujahid berkata, “Kemunkaran.” “Khidhir berkata, ‘Bukankah kamu telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali akan sabar bersama denganku.” (QS. Al Kahfi: 72). Yang pertama dilakukan oleh Musa karena lupa, yang kedua karena syarat, dan yang ketiga adalah kesengajaan. “Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebaniku dengan kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al Kahfi: 73)
Keduanya bertemu dengan seorang anak, lalu Khidhir membunuhnya. Ya’la berkata, Said berkata, “Dia mendapatkan beberapa anak sedang bermain, maka Khidhir mengambil seorang anak yang kafir dan tampan, lalu dia membaringkannya dan menyembelihnya dengan pisau.” “Musa berkata, ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih bukan karena dia membunuh orang lain?” (QS. Al Kahfi: 74)
Dia belum melakukan ingkar sumpah. Dan Ibnu Abbas membaca زكية dengan زاكية yang Muslim, seperti membaca  غلاما زكيا
Lalu keduanya berjalan, hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka meminta dijamu oleh penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu menolak menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Khidhir pun menegakkan dinding itu.” (QS. Al Kahfi: 77). Said memberi isyarat dengan tangannya begini, dia mengangkat tangannya hingga lurus.
Ya’la berkata, “Menurutku Said berkata, ‘Maka dia mengusapnya dengan tangannya dan ia pun lurus.” “Musa berkata, ‘Jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al Kahfi: 78)
Karena di hadapan mereka.” (QS. Al Kahfi: 79), yakni di depan mereka. Ibnu Abbas membacanya, klmMhmAmA .Mereka mengklaim bukan dari Said, bahwa dia adalah Hudad bin Budad, dan anak yang dibunuh – menurut mereka – bernama Jaisur.
Ada seorang raja yang merampas setiap perahu.” (QS. Al Kahfi: 79). Maka aku ingin jika ia melewatinya, dia tidak mengambilnya karena cacatnya. Jika mereka telah lewat, maka mereka bisa memperbaiki dan memanfaatkannya. Di kalangan mereka ada yang bilang, “Sumpallah dengan botol.” Ada yang bilang, dengan aspal.
Kedua orang tua anak itu adalah orang-orang mukmin” (QS. Al Kahfi: 80), dan anak itu adalah kafir.
Dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekufuran.” (QS. Al Kahfi: 80). Yakni, kecintaan kedua orang tuanya kepadanya membuat keduanya mengikutinya dalam agamanya.
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anak itu.” (QS. Al Kahfi: 81). Ini sebagai jawaban atas ucapannya, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih.” (QS. Al Kahfi: 74)
Dan lebih berkasih sayang kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Kahfi: 81). Keduanya lebih sayang kepadanya daripada kepada anak pertama yang dibunuh Khidhir. Selain Said mengklaim bahwa keduanya diberi pengganti anak perempuan. Adapun Dawud bin Ashim, dia berkata dari beberapa orang bahwa penggantinya adalah anak perempuan.
Dalam riwayat ketiga, dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud dari Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas berdebat dengan Al Hur bin Qais bin Hish Al Fazari tentang sohib Musa. Ubay bin Kaab melewati keduanya, lalu Ibnu Abbas memanggilnya dan berkata, “Aku dan temanku ini berdebat tentang sohib Musa, di mana Musa bertanya tentang jalan untuk bertemu dengannya. Apakah kamu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyinggungnya?”
Ubay menjawab, “Ya, aku telah mendengar Nabi menyinggungnya. Beliau bersabda, ‘Ketika Musa sedang bersama pembesar-pembesar Bani Israil, dia didatangi oleh seorang laki-laki. Dia berkata, ‘Apakah kamu mengetahui seseorang yang lebih tahu darimu?’ Musa menjawab, ’Tidak.’ Maka Allah mewahyukan kepada Musa, ’Ada, yaitu hamba Kami bernama Khidhir.’ Maka Musa bertanya bagaimana menemuinya. Allah memberinya satu tanda, yaitu seekor ikan. Dikatakan kepada Musa, ’Jika kamu kehilangan ikan, maka kembalilah, karena kamu akan menemuinya.’ Musa pun menelusuri jejak ikan di laut. Pelayan Musa berkata kepadanya, ‘Tahukah kami ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa menceritakan tentang ikan itu dan tidak ada yang melupakanku untuk menceritakannya kecuali setan.” (QS. Al Kahfi: 63). “Musa menjawab, ‘Itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali mencari jejak mereka semula.” (QS. Al Kahfi: 64). Keduanya bertemu Khidhir dan apa yang terjadi pada keduanya telah diceritakan Allah dalam Kitab-Nya.
Ketiga hadits di atas adalah riwayat Bukhari.

Takhrij Hadits

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabul Ilmi dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Kaab, keterangan tentang perginya Musa ke laut kepada Khidhir, 1/168, no. 74.
Diriwayatkan dalam bab pergi untuk mencari ilmu, 1/174, no. 78; dalam bab apa yang dianjurkan kepada seorang alim jika dia ditanya siapa manusia paling alim, maka hendaknya dia menyerahkan ilmunya kepada Allah, 1/217, no. 122.
Diriwayatkan dalam Kitabul Ijarah, bab jika menyewa seorang pegawai untuk meluruskan tembok, 4/445, no. 2267.
Dalam Kitabusy Syuruth, bab syarat syarat kepada orang dengan ucapan, 5/326, no. 2276.
Dalam Kitab Bad’il Khalqi, bab sifat iblis dan bala tentaranya, 6/326, no. 3278. Dalam Kitab Ahaditsil Anbiya’, bab hadits Khidhir dengan Musa, 6/431, no. 3400, 3401.
Dalam Kitab Tafsir bab ‘Ketika Musa berkata kepada muridnya’ (QS. Al Kahfi: 60), 8/409, no. 4725. Dalam bab ‘Ketika keduanya sampai di pertemuan antara dua laut’ (QS. Al Kahfi: 61), 8/422, no. 4726. Dalam bab ‘Dia berkata, ‘Tahukah kamu ketika kita berteduh di batu itu’ (QS. Al Kahfi: 63), 8/422, no. 4727.
Diriwayatkan dalam Kitabul Aiman wan Nudzur, bab jika menyalahi sumpah karena lupa, 11/550, no. 6672.
Dalam Kitabut Tauhid, bab Masyi’ah dan Iradah, 13/448, no. 448.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Ibnu Abbas dalam Kitabul Fadhail, bab di antara keutamaan Khidhir, 4/1847, no. 2380.
Lihat Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 5/518.

Penjelasan Hadits

Suatu hari Musa berpidato di hadapan Bani Israil. Musa menyampaikan nasihat yang melunakkan hati dan membuat air mata bercucuran. Begitulah para Nabi manakala mereka memberi nasihat. Nasihat mereka melunakkan hati yang keras dan melecut jiwa yang malas. Hal itu karena hati dan jiwa mereka dipenuhi dengan rasa takut dan cinta kepada Allah. Mereka diberi kemampuan untuk menjelaskan dan dikaruniai banyak ilmu.
Banyak orang ketika mendengar orasi para orator ulung terkagum-kagum, mereka dengan apa yang mereka dengar. Terlebih jika mereka adalah Nabi-Nabi Allah. Setelah Musa menyelesaikan khutbahnya, dia diikuti oleh seorang laki-laki yang meninggalkan tempat perkumpulan. Laki-laki ini bertanya kepada Musa, “Apakah di bumi ini terdapat orang yang lebih alim darimu?” Musa menjawab, “Tidak.”
Musa adalah salah seorang Rasul yang agung. Dia termasuk dari lima Rasul Ulul Azmi. Musa menempati di urutan ketiga di antara para Nabi dan Rasul. Ibrahim berada di urutan kedua dan Muhammad di urutan pertama. Musa adalah Kalimullah (Nabi yang berbincang dengan Allah). Allah memberinya Taurat yang berisi cahaya dan petunjuk. Allah mengajarkannya banyak ilmu. Akan tetapi, berapa pun tingginya ilmu seorang hamba, dia tetap harus bertawadhu kepada Tuhannya. Jika dia ditanya dengan pertanyaan seperti itu, semestinya dia menjawab, “Wallahu a’lam.” Seberapa pun ilmu yang dimiliki oleh seseorang tetaplah sedikit dibandingkan dengan ilmu Allah.
Allah mencela Musa yang tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. Dia mewahyukan kepadanya, “Ada, ada yang lebih alim darimu. Aku mempunyai seorang hamba di tempat bertemunya dua laut. Dia memiliki ilmu yang tidak kamu miliki.” Manakala Musa menyimak hal itu, dia pun bertekad ingin menemui hamba shalih tersebut untuk menimba ilmu darinya.
Musa memohon kepada Allah agar menunjukkan tempat keberadaannya. Allah memberitahu bahwa dia berada di tempat bertemunya dua laut. Allah memerintahkan Musa supaya membawa serta ikan yang telah mati. Musa akan menemukan hamba shalih itu di tempat di mana Allah menghidupkan ikan itu. Musa berjalan dengan seorang pemuda temannya menuju tempat bertemunya dua laut. Dia meminta kepada si pemuda agar memberitahu jika ikan itu hidup. Keduanya sampai di sebuah batu di pantai. Musa berbaring di balik batu untuk beristirahat dari letihnya perjalanan. Di sinilah ikan itu bergerak- gerak di dalam keranjang. Dengan kodrat Allah ia hidup, melompat ke laut, membuat jalan yang terlihat jelas. Maka airnya berbentuk seperti pusaran, dan Allah menahan laju air dari ikan tersebut.
 Si pemuda melihat ikan yang hidup itu, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada Musa karena dia sedang tidur. Setelah terbangun, dia lupa menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Musa. Pemuda itu belum teringat kecuali setelah keduanya pergi dari tempat itu. Pada hari itu dan pada malam itu keduanya terus berjalan. Pada hari berikutnya, ketika waktu makan siang telah tiba, Musa meminta pemuda itu untuk menghidangkan makan siang mereka berdua. Makanan mengingatkan pemuda itu kepada ikan, maka dia pun menyampaikan perkara ikan tersebut kepada Musa. Ikan itu telah lompat pada saat keduanya beristirahat di batu barulah kemarin. Perjalanan keduanya cukup mudah. Keduanya melewati tempat yang ditentukan, hingga kelelahan.
Musa dan temannya berjalan berbalik menyusuri jejak semula yang telah mereka lalui, demi menuju ke batu tempat mereka beristirahat. Laki-laki yang dicari oleh Musa berada di sana di tempat di mana ikan itu lepas.
Sampailah keduanya di batu itu. Keduanya mendapati seorang hamba shalih sedang berbaring di atas tanah yang hijau tertutup oleh kain, ujungnya di bawah kakinya dan ujung lainnya di bawah kepalanya.
Musa langsung memberi salam, “Assalamu’alaikum.” Sepertinya daerah itu adalah daerah kafir. Oleh karenanya, hamba shalih tersebut merasa sangat aneh mendengar salam di daerah itu. Dia menjawab, “Dari mana salam di bumiku.” Kemudian hamba shalih itu bertanya siapa Musa. Musa memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kedatangannya. Dia datang untuk menyertainya dan belajar ilmu yang berguna darinya.
Hamba shalih itu berkata mengingkari perjalanan Musa kepada dirinya, “Apa kamu tidak merasa cukup dengan apa yang ada dalam Taurat dan kamu diberi wahyu?”
Kemudian hamba shalih itu menyampaikan bahwa ilmu mereka berdua berbeda, walaupun sumber keduanya adalah satu. Hanya saja, masing-masing mempunyai ilmu yang berbeda yang Allah khususkan untuknya. “Wahai Musa, sesungguhnya aku memiliki ilmu yang Allah ajarkan kepadaku yang tidak kamu ketahui. Kamu juga mempunyai ilmu yang Allah ajarkan kepadamu yang tidak Allah ajarkan kepadaku.”
Musa meminta agar diizinkan untuk menyertainya dan mengikutinya. Dia menjawab, “Kamu tidak akan bias bersabar bersamaku.” Musa pun berjanji akan sabar dengan izin dan kehendak Allah. Hamba shalih itu mensyaratkan atas Musa agar tidak bertanya tentang sesuatu sampai dia sendiri yang menjelaskan dan menerangkannya.
Musa dan Khidhir berjalan di pantai. Keduanya hendak menyeberang ke pantai yang lain, dan mendapatkan perahu kecil yang akan menyeberangkan para penumpang di antara kedua pantai. Orang-orang mengenal   hamba shalih itu, maka mereka menyeberangkannya sekaligus Musa ke pantai seberang secara gratis.
Musa dan Khidhir melihat seekor burung yang hinggap di pinggir perahu. Burung itu mematok air dari laut sekali, maka hamba shalih berkata kepada Musa, “Demi Allah, ilmumu dan ilmuku dibandingkan dengan ilmu Allah hanyalah seperti yang dipatokkan burung itu dengan paruhnya dari air laut.”
Ketika keduanya berada di atas perahu, Musa dikejutkan oleh Khidhir yang mencopot sebuah papan kayu dari perahu itu dan menancapkan patok padanya. Musa lupa akan janjinya, dengan cepat dia mengingkari. Pengrusakan di bumi adalah kejahatan, yang lebih jahat jika dilakukan kepada orang yang memiliki jasa kepadanya, “Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat suatu kesalahan besar.” (QS. Al Kahfi: 71). Di sini hamba shalih itu mengingatkan Musa akan janjinya, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama denganku.” (QS. Al Kahfi: 72). Pertanyaan Musa yang pertama ini dikarenakan dia lupa, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Rasulullah.
Musa dan Khidhir terus berjalan. Musa dikejutkan oleh Khidhir yang menangkap anak kecil yang sehat dan lincah. Khidhir menidurkannya dan menyembelihnya, memenggal kepalanya. Di sini Musa tidak sanggup untuk bersabar terhadap apa yang dilihatnya. Dengan tangkas dia mengingkari, sementara dia menyadari janji yang diputuskannya. “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang munkar.” (QS. Al Kahfi: 74)
Pengingkaran Musa dijawab oleh hamba shalih itu dengan pengingkaran, “Bukankah sudah aku katakana bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat bersabar bersamaku?” (QS. Al Kahfi: 75)
Di sini Musa berhadapan dengan kenyataan yang sebenarnya, bahwa dia tidak mampu berjalan menyertai laki-laki ini lebih lama lagi. Musa tidak kuasa melihat perbuatan seperti ini dan diam. Hal ini kembali kepada dua perkara. Pertama, tabiat Musa. Musa dengan jiwa kepemimpinan yang dimilikinya sudah terbiasa menimbang segala sesuatu yang dilihatnya. Dia tidak terbiasa diam jika menyaksikan sesuatu yang tidak diridhainya.
Dan kedua, dalam syariat Musa, pembunuhan seorang anak adalah sesuatu kejahatan. Bagaimana mungkin Musa tidak mengingkarinya, siapa pun pelakunya.
Dalam hal ini Musa mengakui kepada hamba shalih tersebut. Musa memohon kesempatan yang ketiga dan yang terakhir. Jika sesudahnya Musa bertanya, maka dia berhak untuk meninggalkannya.
Keduanya lantas berjalan, hingga tibalah di sebuah desa yang penduduknya pelit. Musa dan Khidhir meminta kepada mereka hak tamu. Mereka berdua hanya mendapatkan penolakan dari mereka. Walaupun demikian, Khidhir memperbaiki tembok di desa itu yang miring dan hampir roboh. Ini perkara yang aneh. Mereka menolak menerima keduanya sebagai tamu, tapi hamba shalih ini memperbaiki tembok mereka dengan gratis.
Di sini Musa memilih berpisah. Hal ini ditunjukkan oleh pertanyaan Musa kepada hamba shalih tentang alasan dia memperbaiki tembok secara gratis, padahal tembok itu dimiliki oleh kaum yang menolak mereka.
Seandainya Musa bersabar menyertai hamba shalih ini, niscaya kita bisa mengetahui banyak keajaiban dan keunikan yang terjadi padanya. Akan tetapi Musa memilih berpisah setelah hamba shalih ini menerangkan tafsir dari perbuatannya dan rahasia yang terkandung dari perilaku yang dilakukannya. Dan perkara ini tercantum dalam surat Al Kahfi.

Pelajaran-Pelajaran dan Faidah-faidah Hadits
  1. Dialog dan berbincang dalam urusan ilmu. Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Hur bin Qais tentang nama laki-laki yang dituju oleh Musa. Apakah dia Khidhir atau bukan, dan keduanya mencari ilmu kepada orang yang memiliki ilmu. Maka Ubay bin Kaab meriwayatkan untuk keduanya dari Rasulullah tentang hadits tersebut yang menunjukkan kebenaran pendapat Ibnu Abbas.
  2. Seorang alim harus menyebarkan ilmunya di antara umat manusia. Terlebih jika ilmu itu merupakan kata putus dalam urusan yang diperselisihkan oleh manusia Ubay bin Kaab meriwayatkan hadits kepada Ibnu Abbas dan Hur bin Qais di mana hadits itu menjadi hakim dalam urusan yang mereka perselisihkan. Dan Ibnu Abbas meriwayatkan hadits ini kepada teman-temannya sebagai bantahan kepada Nauf Al Bakali yang mengklaim bahwa sohib Khidhir bukanlah Musa Bani Israil.
  3. Para ulama pewaris para Nabi harus mengambil petunjuk para Nabi dengan mengingatkan manusia kepada Tuhan mereka, membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka demi mensucikan jiwa mereka, melunakkan hati mereka hingga menjadi dekat kepada Tuhan mereka, seperti yang dilakukan oleh Musa dalam nasihatnya.
  4. Keutamaan bepergian mencari ilmu. Musa pergi mencari orang yang lebih alim darinya. Keutamaan dan kedudukannya tidak menghalanginya untuk mengikuti orang yang diharapkan bisa menularkan ilmu kepadanya.
  5. Anjuran melayani ahli ilmu dan kebaikan. Yusya’ melayani Musa. Anas bin Malik melayani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
  6. Boleh menyampaikan keletihan dan kelelahan berdasarkan ucapan Musa, “Sungguh, kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al Kahfi: 62). Sama dengan hal ini adalah ketika seseorang memberitakan sakit yang dirasakannya, dengan catatan: pemberitaan itu tidak sampai pada tingkat kemarahan terhadap takdir.
  7. Khidhir hanya mengetahui perkara ghaib yang Allah sampaikan kepadanya. Oleh karena itu, dia tidak mengetahui nama Musa sebelum dia menanyakannya. Khidhir juga tidak mengetahui maksud kedatangan Musa.
  8. Kemampuan Allah menghidupkan yang mati. Dengan kodrat-Nya Dia menghidupkan ikan yang mati dan asin. Dan perjalanan ikan di laut mengandung tanda kekuasaan Allah yang lain, “Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut.” (QS. Al Kahfi: 61)
  9. Berlemah lembut kepada pengikut dan pembantu. Pemuda yang menyertai Musa lupa memberitahu Musa tentang ikan yang telah dihidupkan oleh Allah. Hal ini membuat keduanya melakukan perjalanan lebih panjang dari yang diperlukan, namun Musa tidak menyalahkan dan tidak memarahinya.
  10. Tidak semua yang seseorang mengira bisa melakukannya, dia benar-benar melakukannya. Musa berkata kepada hamba shalih, “Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai orang yang sabar dan aku tidak menentangmu dalam suatu urusan apa pun. “(QS. Al Kahfi: 69). Kemudian, terbuktilah kebenaran dugaan hamba shalih itu, bahwa Musa tidak mampu bersabar.
  11. Hamba shalih ini melubangi perahu dan membunuh seorang anak. Dia menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya adalah dengan perintah dan kehendak Allah. “Sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukannya aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri.” (QS. Al Kahfi: 82) Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi siapa pun yang tidak memperoleh wahyu dari langit dan tidak menerima sedikit pun ilmu Allah untuk merusak, membunuh dan membuat onar, dengan mengklaim bahwa perbuatannya itu mengandung hikmah yang tersembunyi. Hamba shalih itu bukan pengikut Musa, bukan pula pengikut Muhammad. Jika dia pengikut salah satu dari keduanya, niscaya dia tidak boleh melanggar syariat yang berlaku.
  12. Siapa yang bertekad melakukan sesuatu di masa datang, hendaknya dia mengucapkan, “Insya Allah.” Sebagaimana ucapan Musa, “Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar.” (QS. Al Kahfi: 69) Dan firman-Nya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan melakukannya besok pagi. Kecuali dengan menyebut insya Allah.” (QS. Al Kahfi: 23-24)
  13. Di antara adab mencari ilmu adalah, hendaknya murid bersabar dan patuh kepada muallim, “Insya Allah kamu akan mendapatiku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam satu urusan pun.” (QS. Al Kahfi: 69)
  14. Minimnya ilmu manusia di hadapan Allah. Hamba shalih itu berkata kepada Musa, “Ilmuku dan ilmumu di depan ilmu Allah hanyalah seperti yang diambil oleh burung itu dari laut.”
  15. Seorang hamba kadangkala tidak menyadari hikmah di balik takdir Allah yang berlaku pada hamba-hamba-Nya. Kemudian, terungkaplah baginya apa yang dia kira sebagai cobaan dan ujian, ternyata adalah kebaikan dan nikmat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada pemilik perahu, dan dua orang tua anak yang dibunuh oleh Khidhir.
  16. Bisa saja Allah menyediakan kebaikan bagi anak karena kebaikan bapak. Hamba shalih itu meluruskan dinding demi menjaga kekayaan yang ditinggalkan oleh bapak shalih kepada anak-anaknya.
  17. Bersikap sopan kepada Allah dengan menisbatkan kebaikan kepada-Nya, “Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya.” (QS. Al Kahfi: 82) Dan tidak menisbatkan keburukan kepada-Nya. Hamba shalih tersebut menisbatkannya kepada dirinya sendiri, “Dan aku ingin merusaknya.“(QS. Al Kahfi: 79). Dan pemuda yang bersama Musa menyandarkan kealpaan kepada setan, “Dan tidak ada yang melupakanku untuk menceritakannya kecuali setan.” (QS. Al Kahfi: 63)
  18. Melakukan sesuatu yang berdampak negatif paling ringan demi menghindari perkara yang lebih buruk. Hamba shalih itu merusak perahu, untuk menjaga perahu, karena jika perahu itu dibiarkan tanpa cacat niscaya ia akan dirampas oleh raja yang gemar mengambil perahu yang baik.
  19. Merusak sebagian harta demi menjaga harta secara keseluruhan. Khidhir merusak perahu demi menjaganya, sebagaimana dokter memotong tangan yang sakit karena dikhawatirkan penyakit itu akan menyebar ke seluruh tubuh pasiennya.
  20. Diperbolehkannya naik perahu, seperti yang dilakukan oleh Musa dan hamba shalih.
  21. Anjuran membawa bekal dalam bepergian. Musa berkata kepada pemuda yang menyertainya, “Siapkan makan siang kita.” Jika keduanya tidak membawa makanan, niscaya Musa tidak akan meminta makanan. Sebagian orang di kalangan umat ini telah mengklaim bahwa membawa bekal di perjalanan, khususnya haji, termasuk menafikan tawakal. Mereka salah, karena Allah telah meminta pada jamaah haji agar berbekal untuk safar mereka. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah: 197)
  22. Anjuran mencari makan jika di suatu kota terdapat tempat khusus untuk menjual makanan.
  23. Hadits ahad diterima dalam bidang akidah. Lain halnya dengan pendapat yang mengatakan hadits ahad tertolak di bidang akidah. Ibnu Abbas menerima hadits Ubay bin Kaab yang hanya seorang. Para murid Ibnu Abbas menerima hadits Ibnu Abbas yang hanya seorang, dan berita-berita para Nabi termasuk akidah.
  24. Kesalahan pendapat yang berkata bahwa Khidhir hidup sampai pada masa kini. Ini adalah pendapat tanpa dalil. Jika Khidhir hidup, niscaya dia pasti datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan mengikutinya. Para ulama besar seperti Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan Abu Faraj Ibnul Jauzi[1] telah menyatakan bahwa hadits-hadits  yang memberitakan kehidupan Khidhir, tidaklah shahih. Sebagian penulis banyak menukil kisah-kisah yang menunjukkan hidupnya, Khidhir dan semua kisah itu adalah batil.
  25. Hendaklah seseorang bersikap hati-hati dalam mengingkari orang yang berilmu lagi baik, dengan menanyakan alasan mereka yang diduga menyelisihi kebenaran. Musa melihat perbuatan hamba shalih itu salah, padahal sebenarnya benar.

[1] Rujuklah Al Manarul Munif, Ibnul Qayyim, 67. Al Bidayah wal Nihayah, 1/334; Al Maudu’at, Ibnul Jauzi, 1/197

sumber: www.hasanalbanna.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar