Kisah Hajar dan Ismail (2)





Penjelasan Hadits 

Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak kita, Ismail, dan ibunya, Hajar, yang tinggal di tanah suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama yang tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan bumi tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina ke Makkah adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah setelah Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh dari Sarah manakala dirinya tidak merasa aman di sisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh hadits. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret bajunya di belakangnya untuk menghapus jejak kakinya agar Sarah tidak mengetahui ke mana dia pergi.
Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar memindahkan Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa penduduk.
Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang mendalam. Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan tetapi ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita melihat rahmat dan kebaikan ini pada hari ini secara jelas dan gamblang. Dengan didiami oleh Ismail, daerah itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah, syiar-syiar dan segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan Ismail memperoleh pahala dan balasan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.
 Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk, kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa berpikir untuk membangunkan rumah sebagai tempat berlindung keduanya. Dia juga tidak mencarikan orang-orang yang bersedia tinggal di sisinya untuk melindunginya dari ancaman para begal atau serangan binatang buas.
Allah telah memerintahkan Ibrahim agar meninggalkan keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti yang Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan keduanya  kepada  Allah, karena  Dialah yang memerintahkannya untuk melakukan itu. Tentunya, Dia mampu melindungi keduanya, memberi makan dan minum kepada keduanya, serta menghibur keterasingan  keduanya. Ibrahim tidak mempedulikan protes Hajar yang  membuntutinya.  Hajar  berkata,  “Engkau membiarkan kami dan pergi begitu saja?” Hajar mengulang itu berkali-kali, sementara Ibrahim tidak meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim membawa dirinya kepadanya. “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS Al Baqarah: 131)
Manakala Hajar merasa gagal mengorek jawaban, dia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Pada saat itu tenanglah hati dan jiwa Hajar. Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan keinginan-Nya.
Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika sampai di Tsaniyah dan tidak terlihat oleh Hajar, dia berhenti menghadap ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke langit dan berbisik kepada Tuhannya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam- tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari bauh-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Allah telah mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.
Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari. Dia minum dari kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi kurma dan air itu cepat habis. Ibu Ismail haus dan lapar. Anaknya pun ikut lapar dan haus bersamaan dengan lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu mendorongnya untuk mencari sesuatu yang bisa menghapus rasa hausnya dan menghidupi dirinya.
Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling dekat dengannya. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, maka dia akan naik ke tempat yang tinggi agar bisa leluasa memandang dan mencari apa yang dia inginkan.
Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang dengan cermat. Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah untuk menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia naik ke Marwah. Dia melihat seperti yang dia lakukan di bukit Shafa. Tak ada yang membantunya, tak ada yang menolongnya. Begitulah dia mondar-mandir di antara Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar-mandir. Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah.  “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (QS Al Baqarah: 158)
Setelah putaran ketujuh dia mendengar suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.” Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air pun memancar.
Ibu Ismail telah mencari air dari atas bukit-bukit yang tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu Ismail sangatlah besar sekali. Tidak ada air, itu berarti kematian untuknya dan putranya. Memancarnya air adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta kehidupan lembah di mana dia tinggal.
Menurut pengamatanku, Jibril menjelma dalam bentuk seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan berbicara kepadanya dan dia pun berbicara kepada Hajar. Sebagaimana Jibril juga pernah menjelma menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dilihat oleh para sahabat, dan mereka pun mendengarkan ucapannya. Hal ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat ketakutan.
Ibu Ismail, karena didorong oleh insting untuk mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak mungkin, maka dia membendung air itu hingga dia bisa mengisi kantong airnya. Seandainya dia membiarkannya mengalir dan berjalan, niscaya ia akan menjadi mata air yang mengalir. Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan Zamzam” –atau beliau bersabda, “Tidak menciduk air-” niscaya zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Allah memberikan air kepada ibu Ismail untuk menghapus dahaganya, dan air susunya kembali menetes. Dia pun bisa menyusui putranya. Malaikat menenangkannya, “Jangan takut terlantar.” Malaikat menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa bayinya akan membangun Baitullah bersama ayahnya dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap. Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah di dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah. Mereka melihat seekor burung berputar-putar di udara. Mereka mengetahui bahwa berputar-putarnya burung itu tidak lain karena di daerah itu terdapat air. Karena jika tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara seperti yang mereka saksikan itu adalah burung yang mengitari air dan mendatanginya. Hanya saja, mereka tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena mereka mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah tanpa air dan tanpa penghuni. Untuk memastikannya, mereka mengutus seseorang dari kalangan mereka. Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu Ismail. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka melihat air yang memancar dari bebatuan. Mereka takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu Ismail.
Ismail tumbuh dengan baik menjadi seorang pemuda di lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin, diimbangi oleh akhlak mulia dan sifat-sifat luhur. Orang- orang yang tinggal bersamanya menghormatinya dan mencintainya. Mereka menikahkannya dengan gadis mereka.
Ibu Ismail meninggal setelah Ismail menjadi seorang pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian adalah akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang menengok anaknya. Dia tidak menemukan Ismail di rumahnya. Ismail sedang keluar mencari rizki untuk keluarganya. Istri Ismail mengeluhkan kehidupannya. Manakala Ibrahim bertanya  tentangnya, dia memberitahukan bahwa mereka hidup dalam keadaan sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada istri Ismail agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan berpesan kepadanya agar dia merubah palang pintu rumahnya.
Istri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua yang singgah padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika pesannya yang disampaikan kepada suaminya berisi perintah untuk menceraikannya. Ismail mentaati pesan bapaknya, dan istrinya ditalaknya. Ibrahim melihat wanita tersebut tidak layak menjadi istri seorang Nabi sekaligus Rasul yang disiapkan untuk memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga, anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Istri yang memperpanjang keluhan dan hobi ngedumel tidak mungkin menjadi penopang suami yang memikul tugas- tugas besar.
Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu dengan seorang wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya menikah dengannya dan meminta anaknya agar mempertahankannya.  Ibrahim  bertanya  tentang kehidupan mereka. Istri Ismail menjawab, “Segala puji bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan.” Ibrahim bertanya tentang makanan dan minuman mereka. Dia menjawab, “Daging dan air.” Maka Ibrahim mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan air. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang mereka makan, niscaya Ibrahim akan mendoakannya juga sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah, bahwa penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan daging dan minum air. Padahal, selain mereka bisa berakibat celaka jika hanya makan daging dan air saja.
Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang mengunjungi anaknya dan mencari tahu tentang beritanya. Ibrahim mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak panah di bawah pohon itu, pohon di mana dulu Ibrahim meninggalkannya dengan ibunya pada saat mereka datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit kepadanya. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan anak kepada ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling memberi salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain sebagainya. Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan bahwa Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka Ismail bersegera melaksanakan perintah Allah. Ibrahim membangun Baitullah dengan bantuan Ismail. Sambil membangun keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah  dari  kami  (amal  kebaikan  kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)

Versi Taurat [1] 

Kisah ini terdapat di dalam Taurat. Akan tetapi, Anda tidak akan mendapatkan penjelasan dan perincian seperti yang ada di dalam hadits. Jika kamu membaca kisah Taurat dengan kacamata hadits, maka Anda akan menemukan bagaimana hadits membenarkan riwayat Taurat  dan  membongkar  penyelewengan  dan penggubahan yang menimpa kisah ini sepanjang masa.
Kisah ini tertulis dalam Ishah 16 dan Ishah 21 dalam Safar Takwin. Nashnya adalah, “Saray istri Abram [2]belum kunjung melahirkan anak. Dia memiliki hamba sahaya dari Mesir bernama Hajar. Saray berkata kepada Abram, “Tuhan belum mengizinkanku untuk melahirkan. Menikahlah dengan hamba sahayaku. Mudah-mudahan aku mempunyai anak darinya.” Abram mendengar ucapan Saray. Maka Saray, istri Abram, mengambil hamba sahayanya, Hajar Al Misriyah, setelah sepuluh tahun berlalu sejak Abram tinggal di bumi Kan’an. Saray memberikan Hajar kepada Abram, suaminya, agar memperistrinya. Maka Abram melakukannya dan Hajar hamil.
Manakala Saray melihat Hajar hamil, dia merasa rendah di depan matanya. Saray berkata kepada Abram, “Kedzalimanku atasmu. Aku memberikan hamba sahayaku kepadamu. Ketika aku melihatnya hamil, aku merasa rendah di matanya. Semoga Allah memutuskan antara diriku dengan dirimu.”
Abram berkata kepada Saray, “Itu dia hamba sahayamu di tanganmu. Lakukanlah apa yang menurutmu baik di matamu.” Maka Saray menghinakannya dan Hajar minggat dari sisinya.
Malaikat Tuhan mendapatkan Hajar di tanah lapang di sebuah mata air di jalan Syur. Malaikat bertanya, “Wahai Hajar hamba sahaya Saray, dari mana kamu datang dan kemana kamu pergi?” Hajar menjawab, “Aku minggat dari sisi majikanku, Saray.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Pulanglah kamu kepada majikanmu dan tunduklah di bawah kekuasaannya.”
Malaikat Tuhan berkata kepada Hajar, “Semoga keturunanmu banyak hingga tidak terhitung.” Malaikat Tuhan berkata kepadanya, “Inilah kamu yang sekarang hamil. Kamu akan melahirkan anak laki-laki. Kamu memanggil namanya Ismail. Sesungguhnya Tuhan telah mendengar kesengsaraanmu. Anakmu akan menjadi orang kuat. Tangannya di atas setiap orang dan tangan setiap orang di atasnya, dan di depan seluruh saudaranya, dia tenang.”
Lalu Hajar memanggil nama Tuhan yang berbincang dengannya, “Engkau adalah il Raay,” karena dia berkata, “Apakah di sini juga saya melihat setelah melihat, oleh karena itu sumurnya diberi nama sumur kaum Raay, inilah sumur itu di antara Qadisy dan Barid.” Lalu Hajar melahirkan anak laki-laki Abram. Abram memanggil anaknya yang dilahirkan oleh Hajar dengan nama Ismail. Pada saat Hajar melahirkan Ismail, umur Abram adalah 86 tahun.
Dalam Ishah 21 dalam Safar Takwin tertulis:
“Sarah melihat putra Hajar Al Misriyah sedang bergurau, Sarah berkata kepada Ibrahim, ‘Usirlah wanita itu dan anaknya, karena putra wanita hamba sahaya itu tidak berhak atas warisan di depan anakku Ishaq.” Ucapan yang sangat buruk dalam pandangan Ibrahim karena anaknya. Lalu Allah berfirman kepada Ibrahim, “Jangan menjadi buruk di matamu hanya karena anak laki-laki dan hamba sahayamu dalam segala ucapan Sarah kepadamu. Dengarkanlah ucapannya, karena kamu dianggap memiliki keturunan melalui Ishaq. Dan putra hamba sahayamu itu akan Aku jadikan sebagai umat, karena dia adalah keturunanmu.”
Pada pagi harinya Ibrahim bersiap-siap. Dia membawa roti dan kantong air lalu memberikannya kepada Hajar dengan meletakkan keduanya di pundak Hajar yang menggendong anak dan memerintahkannya pergi. Hajar pergi dan tersesat di daratan sumur tujuh. Ketika air yang di kantong telah habis, Hajar meninggalkan anaknya di bawah sebuah pohon. Hajar menjauh dan duduk membelakanginya sejauh lemparan busur. Dia berkata, “Aku tidak mau melihat kematian anak.” Hajar duduk membelakanginya dan menangis dengan keras. Lalu Allah mendengar suara anaknya dan Malaikat Allah memanggil Hajar dari langit. Dia berkata kepadanya, “Ada apa denganmu, wahai Hajar? Jangan takut, karena Allah telah mendengar suara anakmu seperti adanya. Bangkitlah, bawalah anakmu, kuatkan tanganmu padanya, karena aku akan menjadikannya umat yang besar.” Dan Allah membuka kedua mata Hajar maka dia melihat sumur air. Dia mendekatinya dan memenuhi kantongnya dengan air dan memberi minum anaknya. Allah bersama anak itu, hingga dia menjadi besar dan tinggal di daratan. Dia tumbuh menjadi seorang pemanah. Dia tinggal di daratan Faran dan ibunya menikahkannya dengan seorang wanita dari Mesir.”

Komentar Menyangkut Kisah Dalam Taurat 

Ada beberapa poin dalam kisah ini yang benar karena sesuai dengan pemberitaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam hadits yang kami sebutkan dan hadits- hadits lainnya. Di antaranya, bahwa Sarah memberikan hamba sahayanya Hajar kepada Ibrahim dengan harapan agar Ibrahim bisa memperoleh anak darinya dan Hajar hamil setelah Ibrahim menikahinya; bahwa Hajar menjadi percaya diri ketika dia hamil, sementara majikannya menjadi turun pamornya di matanya; bahwa Sarah marah terhadap Hajar yang kemudian minggat dari hadapannya; bahwa Sarah meminta Ibrahim untuk mengusir Hajar dan putranya, sehingga Ibrahim mengeluarkan Hajar ke daratan dengan dibekali sedikit makanan dan kantong air; bahwa Hajar bersedih ketika airnya habis; dan bahwa Malaikat Tuhan turun dan menenangkannya serta memberitahukan tempat air kepadanya.
Tidaklah benar apa yang disebutkan dalam kisah Taurat bahwa Ibrahim memberi Hajar sekantong air dan makanan dan memintanya membawanya, dan bahwa Hajar pergi tak tentu arah di daratan tersebut. Yang benar adalah seperti yang tercantum di dalam hadits, bahwa Ibrahim membawa sekantong air dan tempat bekal berisi kurma dan dia meninggalkan Hajar beserta anaknya di sebuah lembah tandus di Baitullah Al Haram. Apa yang disebutkan di dalam hadits tentang keadaan Hajar, habisnya air, sa’i Hajar di antara Shafa dan Marwah, datangnya Jibril yang memancarkan air, dan perincian-perincian lain tidaklah disinggung dalam Taurat. Apa yang disebutkan dalam Taurat tidaklah secermat dan sejelas seperti dalam hadits.
Tidak benar kalau Sarah menyuruh Ibrahim mengusir Ismail ketika dia melihatnya bergurau, dan bahwa Sarah menolak Ismail menjadi ahli waris bersama Ishaq anaknya. Karena, pada saat Ismail dibawa oleh bapaknya ke Makkah, ia masih seorang bayi yang menyusu dan belum sampai pada umur yang memungkinkan untuk bergurau. Adapun Ishaq, dia pada saat itu belum dilahirkan.
Apa yang disebutkan dalam Taurat bahwa Ibrahim menggauli Hajar setelah sepuluh tahun dari tinggalnya di bumi Kan’an; bahwa minggatnya Hajar dari Sarah adalah ke mata air di jalan Syur, dan Malaikat meminta agar Hajar kembali kepada Sarah dan patuh kepadanya; dan bahwa Ibrahim pada waktu Ismail lahir berumur 86 tahun; semua itu Allah lebih mengetahui kebenarannya.

Pelajaran-pelajaran dan Faidah-faidah Hadits 
  1. Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta yang tidak mungkin kita ketahui seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul Atiq, dan lain sebagainya.
  2. Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar membawa istri dan anaknya ke tempat itu, walaupun perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang hamba bisa jadi membenci sesuatu, sementara kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
  3. Allah menjaga dan melindungi para walinya sebagaimana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
  4. Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan usaha seorang hamba dalam perkara yang mengandung kebaikannya. Hajar mencari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup putranya, walaupun dia  berserah  diri  kepada perintah Allah.
  5. Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang tuli, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
  6. Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada sesuatu yang baik baginya.
  7. Ngedumel karena minimnya rizki dan sulitnya hidup bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim membenci sifat ngedumel dari istri Ismail akan beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya, sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas nikmat Allah termasuk akhlak orang-orang shalih. Oleh karena itu, Ibrahim memuji istri Ismail yang ridha dan bersyukur.
  8. Doa orang shalih agar makanan dan minuman menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi berkah.
  9. Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada waktu  bertemu  orang  yang  dicintai. Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya bertemu.
  10. Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah seorang pemanah.”[3]
  11. Saling tolong menolong di antara anggota keluarga dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail membantu bapaknya membangun Ka’bah.
  12. Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada ayahnya untuk menceraikan istri pertamanya dan menahan istri keduanya. Jika ayah yang meminta mentalak istri dengan pertimbangan-pertimbangan Islamiah seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh menolak.
  13. Ismail adalah bapak orang Arab Musta’ribah, yaitu Arab Hejaz. Adapun kabilah–kabilah Himyar, yaitu Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan. Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari banyak kabilah. Di antara mereka adalah ‘Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan. Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah.[4] Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Ismail adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat belas tahun.[5]
  14. Koreksi Al Qur’an dan hadits yang shahih terhadap kesalahan dan penyimpangan Taurat.

[1] Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Musa. Ia telah mengalami banyak penyimpangan, dan sisa-sisanya terdapat di dalam kitab yang diberi nama Taurat di kitab-kitab lima yang pertama, yang dinamakan dengan nama syariat. Orang-orang Yahudi yang menulisnya telah banyak melakukan penambahan dan semuanya mereka beri nama Taurat dengan perselisihan di antara mereka, mana yang diterima dan mana yang ditolak.
[2] Saray adalah nama Sarah sebelumnya, dan Abram adalah nama Ibrahim sebelumnya. Taurat menyatakan bahwa pergantian kedua nama itu dengan perintah Allah.
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih-nya. Lihat no. 97 dan 3371.
[4] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120, 2/165.
[5] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2581.

sumber:www.hasanalbanna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar