Penjelasan Hadits
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak kita, Ismail, dan ibunya,
Hajar, yang tinggal di tanah suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama
yang tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan bumi
tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum
muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah
wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina
ke Makkah adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah setelah
Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh dari Sarah manakala
dirinya tidak merasa aman di sisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan
oleh hadits. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menyampaikan kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret bajunya
di belakangnya untuk menghapus jejak kakinya agar Sarah tidak
mengetahui ke mana dia pergi.
Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar
memindahkan Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak bisa
dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit
dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam
usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan
belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan
dan tanpa penduduk.
Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang
mendalam. Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan tetapi
ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita melihat rahmat dan
kebaikan ini pada hari ini secara jelas dan gamblang. Dengan didiami
oleh Ismail, daerah itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya
Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah, syiar-syiar dan
segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan Ismail memperoleh pahala dan
balasan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia
Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
adalah Pemilik karunia yang besar.
Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan
ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk,
kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian
meletakkan keduanya di bawah pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa
berpikir untuk membangunkan rumah sebagai tempat berlindung keduanya.
Dia juga tidak mencarikan orang-orang yang bersedia tinggal di sisinya
untuk melindunginya dari ancaman para begal atau serangan binatang buas.
Allah telah memerintahkan Ibrahim agar
meninggalkan keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti yang
Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan keduanya kepada Allah,
karena Dialah yang memerintahkannya untuk melakukan itu. Tentunya, Dia
mampu melindungi keduanya, memberi makan dan minum kepada keduanya,
serta menghibur keterasingan keduanya. Ibrahim tidak mempedulikan
protes Hajar yang membuntutinya. Hajar berkata, “Engkau membiarkan
kami dan pergi begitu saja?” Hajar mengulang itu berkali-kali, sementara
Ibrahim tidak meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah
Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim membawa dirinya
kepadanya. “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS Al Baqarah: 131)
Manakala Hajar merasa gagal mengorek
jawaban, dia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan
ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Pada saat itu tenanglah hati dan jiwa
Hajar. Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan
orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan keinginan-Nya.
Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika
sampai di Tsaniyah dan tidak terlihat oleh Hajar, dia berhenti menghadap
ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke langit dan berbisik
kepada Tuhannya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam- tanaman di
dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang
demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari
bauh-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Allah telah mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.
Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari.
Dia minum dari kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan
makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi kurma dan air itu cepat
habis. Ibu Ismail haus dan lapar. Anaknya pun ikut lapar dan haus
bersamaan dengan lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena
kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu mendorongnya
untuk mencari sesuatu yang bisa menghapus rasa hausnya dan menghidupi
dirinya.
Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling
dekat dengannya. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di
sekelilingnya, maka dia akan naik ke tempat yang tinggi agar bisa
leluasa memandang dan mencari apa yang dia inginkan.
Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang
dengan cermat. Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah untuk
menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia naik ke Marwah. Dia
melihat seperti yang dia lakukan di bukit Shafa. Tak ada yang
membantunya, tak ada yang menolongnya. Begitulah dia mondar-mandir di
antara Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia mondar-mandir
itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa
cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar-mandir.
Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang
pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah
haji dan umrah. “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari
syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (QS Al Baqarah: 158)
Setelah putaran ketujuh dia mendengar
suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.”
Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara
itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada
sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk
menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara
itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang
memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air pun
memancar.
Ibu Ismail telah mencari air dari atas
bukit-bukit yang tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah
kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu Ismail sangatlah
besar sekali. Tidak ada air, itu berarti kematian untuknya dan putranya.
Memancarnya air adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta
kehidupan lembah di mana dia tinggal.
Menurut pengamatanku, Jibril menjelma
dalam bentuk seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan berbicara
kepadanya dan dia pun berbicara kepada Hajar. Sebagaimana Jibril juga
pernah menjelma menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dilihat oleh para sahabat, dan mereka pun mendengarkan ucapannya. Hal ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya seperti yang
diciptakan oleh Allah kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat ketakutan.
Ibu Ismail, karena didorong oleh insting
untuk mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak mungkin, maka
dia membendung air itu hingga dia bisa mengisi kantong airnya.
Seandainya dia membiarkannya mengalir dan berjalan, niscaya ia akan
menjadi mata air yang mengalir. Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga
Allah memberi rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan
Zamzam” –atau beliau bersabda, “Tidak menciduk air-” niscaya zamzam
menjadi mata air yang mengalir.”
Allah memberikan air kepada ibu Ismail
untuk menghapus dahaganya, dan air susunya kembali menetes. Dia pun bisa
menyusui putranya. Malaikat menenangkannya, “Jangan takut terlantar.”
Malaikat menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa bayinya akan
membangun Baitullah bersama ayahnya dan bahwa Allah tidak akan
menyia-nyiakan keluarganya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada
Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk
menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi
sedikit mulai lenyap. Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah
di dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah. Mereka melihat
seekor burung berputar-putar di udara. Mereka mengetahui bahwa
berputar-putarnya burung itu tidak lain karena di daerah itu terdapat
air. Karena jika tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan
tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara seperti yang mereka
saksikan itu adalah burung yang mengitari air dan mendatanginya. Hanya
saja, mereka tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena mereka
mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah tanpa air dan tanpa
penghuni. Untuk memastikannya, mereka mengutus seseorang dari kalangan
mereka. Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang dilihatnya
kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu Ismail. Dengan mata kepala mereka
sendiri, mereka melihat air yang memancar dari bebatuan. Mereka takjub
dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya.
Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap
air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan
Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu
Ismail.
Ismail tumbuh dengan baik menjadi
seorang pemuda di lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin,
diimbangi oleh akhlak mulia dan sifat-sifat luhur. Orang- orang yang
tinggal bersamanya menghormatinya dan mencintainya. Mereka menikahkannya
dengan gadis mereka.
Ibu Ismail meninggal setelah Ismail
menjadi seorang pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian adalah
akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang menengok anaknya. Dia
tidak menemukan Ismail di rumahnya. Ismail sedang keluar mencari rizki
untuk keluarganya. Istri Ismail mengeluhkan kehidupannya. Manakala
Ibrahim bertanya tentangnya, dia memberitahukan bahwa mereka hidup
dalam keadaan sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada istri Ismail
agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan berpesan kepadanya agar dia
merubah palang pintu rumahnya.
Istri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua
yang singgah padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika pesannya
yang disampaikan kepada suaminya berisi perintah untuk menceraikannya.
Ismail mentaati pesan bapaknya, dan istrinya ditalaknya. Ibrahim melihat
wanita tersebut tidak layak menjadi istri seorang Nabi sekaligus Rasul
yang disiapkan untuk memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga,
anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Istri yang memperpanjang
keluhan dan hobi ngedumel tidak mungkin menjadi penopang suami yang
memikul tugas- tugas besar.
Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu
dengan seorang wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya
menikah dengannya dan meminta anaknya agar mempertahankannya. Ibrahim
bertanya tentang kehidupan mereka. Istri Ismail menjawab, “Segala puji
bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan.” Ibrahim bertanya tentang
makanan dan minuman mereka. Dia menjawab, “Daging dan air.” Maka
Ibrahim mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan air.
Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang mereka makan, niscaya
Ibrahim akan mendoakannya juga sebagaimana yang disampaikan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menyampaikan bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah, bahwa
penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan daging dan minum
air. Padahal, selain mereka bisa berakibat celaka jika hanya makan
daging dan air saja.
Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang
mengunjungi anaknya dan mencari tahu tentang beritanya. Ibrahim
mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak panah di bawah pohon
itu, pohon di mana dulu Ibrahim meninggalkannya dengan ibunya pada saat
mereka datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit kepadanya.
Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan
anak kepada ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling memberi
salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain sebagainya. Ibrahim
menyampaikan perintah Allah kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan
bahwa Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka Ismail bersegera
melaksanakan perintah Allah. Ibrahim membangun Baitullah dengan bantuan
Ismail. Sambil membangun keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal kebaikan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS Al Baqarah: 127)
Versi Taurat [1]
Kisah ini terdapat di dalam Taurat. Akan
tetapi, Anda tidak akan mendapatkan penjelasan dan perincian seperti
yang ada di dalam hadits. Jika kamu membaca kisah Taurat dengan kacamata
hadits, maka Anda akan menemukan bagaimana hadits membenarkan riwayat
Taurat dan membongkar penyelewengan dan penggubahan yang menimpa
kisah ini sepanjang masa.
Kisah ini tertulis dalam Ishah 16 dan Ishah 21 dalam Safar Takwin. Nashnya adalah, “Saray istri Abram [2]belum
kunjung melahirkan anak. Dia memiliki hamba sahaya dari Mesir bernama
Hajar. Saray berkata kepada Abram, “Tuhan belum mengizinkanku untuk
melahirkan. Menikahlah dengan hamba sahayaku. Mudah-mudahan aku
mempunyai anak darinya.” Abram mendengar ucapan Saray. Maka Saray, istri
Abram, mengambil hamba sahayanya, Hajar Al Misriyah, setelah sepuluh
tahun berlalu sejak Abram tinggal di bumi Kan’an. Saray memberikan Hajar
kepada Abram, suaminya, agar memperistrinya. Maka Abram melakukannya
dan Hajar hamil.
Manakala Saray melihat Hajar hamil, dia
merasa rendah di depan matanya. Saray berkata kepada Abram,
“Kedzalimanku atasmu. Aku memberikan hamba sahayaku kepadamu. Ketika aku
melihatnya hamil, aku merasa rendah di matanya. Semoga Allah memutuskan
antara diriku dengan dirimu.”
Abram berkata kepada Saray, “Itu dia
hamba sahayamu di tanganmu. Lakukanlah apa yang menurutmu baik di
matamu.” Maka Saray menghinakannya dan Hajar minggat dari sisinya.
Malaikat Tuhan mendapatkan Hajar di
tanah lapang di sebuah mata air di jalan Syur. Malaikat bertanya, “Wahai
Hajar hamba sahaya Saray, dari mana kamu datang dan kemana kamu pergi?”
Hajar menjawab, “Aku minggat dari sisi majikanku, Saray.” Malaikat
Tuhan berkata kepadanya, “Pulanglah kamu kepada majikanmu dan tunduklah
di bawah kekuasaannya.”
Malaikat Tuhan berkata kepada Hajar,
“Semoga keturunanmu banyak hingga tidak terhitung.” Malaikat Tuhan
berkata kepadanya, “Inilah kamu yang sekarang hamil. Kamu akan
melahirkan anak laki-laki. Kamu memanggil namanya Ismail. Sesungguhnya
Tuhan telah mendengar kesengsaraanmu. Anakmu akan menjadi orang kuat.
Tangannya di atas setiap orang dan tangan setiap orang di atasnya, dan
di depan seluruh saudaranya, dia tenang.”
Lalu Hajar memanggil nama Tuhan yang berbincang dengannya, “Engkau adalah il Raay,”
karena dia berkata, “Apakah di sini juga saya melihat setelah melihat,
oleh karena itu sumurnya diberi nama sumur kaum Raay, inilah sumur itu
di antara Qadisy dan Barid.” Lalu Hajar melahirkan anak laki-laki Abram.
Abram memanggil anaknya yang dilahirkan oleh Hajar dengan nama Ismail.
Pada saat Hajar melahirkan Ismail, umur Abram adalah 86 tahun.
Dalam Ishah 21 dalam Safar Takwin tertulis:
“Sarah melihat putra Hajar Al Misriyah
sedang bergurau, Sarah berkata kepada Ibrahim, ‘Usirlah wanita itu dan
anaknya, karena putra wanita hamba sahaya itu tidak berhak atas warisan
di depan anakku Ishaq.” Ucapan yang sangat buruk dalam pandangan Ibrahim
karena anaknya. Lalu Allah berfirman kepada Ibrahim, “Jangan menjadi
buruk di matamu hanya karena anak laki-laki dan hamba sahayamu dalam
segala ucapan Sarah kepadamu. Dengarkanlah ucapannya, karena kamu
dianggap memiliki keturunan melalui Ishaq. Dan putra hamba sahayamu itu
akan Aku jadikan sebagai umat, karena dia adalah keturunanmu.”
Pada pagi harinya Ibrahim bersiap-siap.
Dia membawa roti dan kantong air lalu memberikannya kepada Hajar dengan
meletakkan keduanya di pundak Hajar yang menggendong anak dan
memerintahkannya pergi. Hajar pergi dan tersesat di daratan sumur tujuh.
Ketika air yang di kantong telah habis, Hajar meninggalkan anaknya di
bawah sebuah pohon. Hajar menjauh dan duduk membelakanginya sejauh
lemparan busur. Dia berkata, “Aku tidak mau melihat kematian anak.”
Hajar duduk membelakanginya dan menangis dengan keras. Lalu Allah
mendengar suara anaknya dan Malaikat Allah memanggil Hajar dari langit.
Dia berkata kepadanya, “Ada apa denganmu, wahai Hajar? Jangan takut,
karena Allah telah mendengar suara anakmu seperti adanya. Bangkitlah,
bawalah anakmu, kuatkan tanganmu padanya, karena aku akan menjadikannya
umat yang besar.” Dan Allah membuka kedua mata Hajar maka dia melihat
sumur air. Dia mendekatinya dan memenuhi kantongnya dengan air dan
memberi minum anaknya. Allah bersama anak itu, hingga dia menjadi besar
dan tinggal di daratan. Dia tumbuh menjadi seorang pemanah. Dia tinggal
di daratan Faran dan ibunya menikahkannya dengan seorang wanita dari
Mesir.”
Komentar Menyangkut Kisah Dalam Taurat
Ada beberapa poin dalam kisah ini yang benar karena sesuai dengan pemberitaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
dalam hadits yang kami sebutkan dan hadits- hadits lainnya. Di
antaranya, bahwa Sarah memberikan hamba sahayanya Hajar kepada Ibrahim
dengan harapan agar Ibrahim bisa memperoleh anak darinya dan Hajar hamil
setelah Ibrahim menikahinya; bahwa Hajar menjadi percaya diri ketika
dia hamil, sementara majikannya menjadi turun pamornya di matanya; bahwa
Sarah marah terhadap Hajar yang kemudian minggat dari hadapannya; bahwa
Sarah meminta Ibrahim untuk mengusir Hajar dan putranya, sehingga
Ibrahim mengeluarkan Hajar ke daratan dengan dibekali sedikit makanan
dan kantong air; bahwa Hajar bersedih ketika airnya habis; dan bahwa
Malaikat Tuhan turun dan menenangkannya serta memberitahukan tempat air
kepadanya.
Tidaklah benar apa yang disebutkan dalam
kisah Taurat bahwa Ibrahim memberi Hajar sekantong air dan makanan dan
memintanya membawanya, dan bahwa Hajar pergi tak tentu arah di daratan
tersebut. Yang benar adalah seperti yang tercantum di dalam hadits,
bahwa Ibrahim membawa sekantong air dan tempat bekal berisi kurma dan
dia meninggalkan Hajar beserta anaknya di sebuah lembah tandus di
Baitullah Al Haram. Apa yang disebutkan di dalam hadits tentang keadaan
Hajar, habisnya air, sa’i Hajar di antara Shafa dan Marwah, datangnya
Jibril yang memancarkan air, dan perincian-perincian lain tidaklah
disinggung dalam Taurat. Apa yang disebutkan dalam Taurat tidaklah
secermat dan sejelas seperti dalam hadits.
Tidak benar kalau Sarah menyuruh Ibrahim
mengusir Ismail ketika dia melihatnya bergurau, dan bahwa Sarah menolak
Ismail menjadi ahli waris bersama Ishaq anaknya. Karena, pada saat
Ismail dibawa oleh bapaknya ke Makkah, ia masih seorang bayi yang
menyusu dan belum sampai pada umur yang memungkinkan untuk bergurau.
Adapun Ishaq, dia pada saat itu belum dilahirkan.
Apa yang disebutkan dalam Taurat bahwa
Ibrahim menggauli Hajar setelah sepuluh tahun dari tinggalnya di bumi
Kan’an; bahwa minggatnya Hajar dari Sarah adalah ke mata air di jalan
Syur, dan Malaikat meminta agar Hajar kembali kepada Sarah dan patuh
kepadanya; dan bahwa Ibrahim pada waktu Ismail lahir berumur 86 tahun;
semua itu Allah lebih mengetahui kebenarannya.
Pelajaran-pelajaran dan Faidah-faidah Hadits
- Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta yang tidak mungkin kita ketahui seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul Atiq, dan lain sebagainya.
- Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar membawa istri dan anaknya ke tempat itu, walaupun perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang hamba bisa jadi membenci sesuatu, sementara kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
- Allah menjaga dan melindungi para walinya sebagaimana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
- Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan usaha seorang hamba dalam perkara yang mengandung kebaikannya. Hajar mencari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup putranya, walaupun dia berserah diri kepada perintah Allah.
- Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang tuli, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
- Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada sesuatu yang baik baginya.
- Ngedumel karena minimnya rizki dan sulitnya hidup bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim membenci sifat ngedumel dari istri Ismail akan beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya, sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas nikmat Allah termasuk akhlak orang-orang shalih. Oleh karena itu, Ibrahim memuji istri Ismail yang ridha dan bersyukur.
- Doa orang shalih agar makanan dan minuman menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi berkah.
- Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada waktu bertemu orang yang dicintai. Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya bertemu.
- Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah seorang pemanah.”[3]
- Saling tolong menolong di antara anggota keluarga dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail membantu bapaknya membangun Ka’bah.
- Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada ayahnya untuk menceraikan istri pertamanya dan menahan istri keduanya. Jika ayah yang meminta mentalak istri dengan pertimbangan-pertimbangan Islamiah seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh menolak.
- Ismail adalah bapak orang Arab Musta’ribah, yaitu Arab Hejaz. Adapun kabilah–kabilah Himyar, yaitu Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan. Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari banyak kabilah. Di antara mereka adalah ‘Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan. Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah.[4] Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Ismail adalah orang pertama yang mengucapkan bahasa Arab dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat belas tahun.[5]
- Koreksi Al Qur’an dan hadits yang shahih terhadap kesalahan dan penyimpangan Taurat.
[1]
Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Musa. Ia telah mengalami
banyak penyimpangan, dan sisa-sisanya terdapat di dalam kitab yang
diberi nama Taurat di kitab-kitab lima yang pertama, yang dinamakan
dengan nama syariat. Orang-orang Yahudi yang menulisnya telah banyak
melakukan penambahan dan semuanya mereka beri nama Taurat dengan
perselisihan di antara mereka, mana yang diterima dan mana yang ditolak.
[2]
Saray adalah nama Sarah sebelumnya, dan Abram adalah nama Ibrahim
sebelumnya. Taurat menyatakan bahwa pergantian kedua nama itu dengan
perintah Allah.
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih-nya. Lihat no. 97 dan 3371.
[4] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120, 2/165.
[5] Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2581.
sumber:www.hasanalbanna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar