Cara Menandatangani SPT





Kewajiban menyampaikan SPT oleh Wajib Pajak kadang dianggap tidak terpenuhi hanya oleh “hal kecil” seperti lupa menandatangani SPT. Padahal, jika diteliti lebih lanjut, tanda tangan bukanlah hal kecil, ia justru menjadi hal yang paling utama saat penyampaian SPT.

Mari kita lihat bunyi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 28 Tahun 2007):

“Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”

Jelas sekali disebutkan bahwa SPT harus ditandatangani sebelum disampaikan, jika tidak, konsekuensinya adalah SPT dianggap tidak disampaikan. Dengan adanya tanda tangan, berarti orang yang menandatangani mengetahui isi dari dokumen yang ditandatangani sehingga yang bersangkutan terikat dengan isi dokumen.

Tujuan penandatanganan dokumen secara umum adalah sebagai bukti yang mengidentifikasi penanda tangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Selain itu, tanda tangan merupakan persetujuan atau otorisasi dengan konsekuensi yang bersangkutan dianggap mengetahui bahwa ia telah melakukan perbuatan hukum.

Setelah mengetahui kedudukan tanda tangan dalam SPT, lalu bagaimanakah cara menandatangani SPT sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku? Kita lihat bunyi UUKUP masih di pasal yang sama (Pasal 3) tetapi di ayat yang berbeda yaitu ayat (1b):

“Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”


Jadi, ada tiga cara menandatangani SPT:
  • secara biasa, umumnya kita kenal dengan sebutan tanda tangan basah;
  • tanda tangan stempel;
  • tanda tangan elektronik atau digital.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009 dalam Pasal 7 ayat (2) diatur bahwa tanda tangan stempel dan tanda tangan elektronik atau digital mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Kenapa kekuatan hukumnya sama? Karena yang dilihat adalah fungsi dan kedudukan tanda tangan tadi di mata hukum, bukan semata-mata bentuk tanda tangannya saja.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penanda tangan SPT untuk mengatakan bahwa dia hanya “sekedar” menandatangani SPT tanpa mengetahui apa isi SPT. Diperkenankannya penggunaan tanda tangan stempel serta memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan basah sebetulnya memberi kemudahan kepada pihak direksi yang mewakili Wajib Pajak yang tidak selalu berada di tempat saat diperlukan tanda tangannya. Tetapi, tetap dengan konsekuensi bahwa direksi yang menandatangani terikat dengan SPT yang telah ditandatangani.

Semoga bermanfaat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar