Panggilan seorang suami kepada isterinya dengan sebutan 'bunda' memang sangat banyak kita lihat. Bukan hanya kata 'bunda' saja, tetapi semua variannya, seperti 'mama', 'ibu', 'kakak', bahkan 'ummi'.
Demikian juga dengan panggilan seorang isteri kepada suaminya, seringkali dengan sebutan 'ayah', 'papa', 'bapak', 'adik' danbahkan 'abi'.
Sebenarnya tidak ada yang terlarang dengan panggilan-panggilan seperti ini, asalkan sudah menjadi kelaziman. Tentu sama sekali tidak ada niat dari masing-masing pasangan untuk memposisikan suami atau isteri dengan cara yang berbeda. Maksudnya, ketika seorang isteri memanggil suaminya dengan sebutan 'ayah', tentu niatnya bukan menganggap suaminya sebagai ayahnya. Demikian juga sebaliknya.
Memang secara bahasa, panggilan-panggilan ini agak rancu. Tapi yang tidak rancu terkadang malah aneh terdengar di telinga. Mungkin kita akan merasa janggal kalau mendengar seorang isteri memanggil suami dengan sapaan "Suamiku, suamiku!." Lalu suaminya menjawab, "Ya, ada apa isteriku?" Persis potongan film Cina yang disulih (dubbing) dengan bahasa Indonesia.
Jadi ini sebenarnya masalah rasa bahasa. Kita adalah bangsa yang tergolong santun dalam berbahasa, saking santunnya sampai-sampai 'keluar' dari alur aslinya. Meski tidak harus selalu bertentangan dengan syariah.
Misalnya panggilan 'saudara' atau 'saudari', sudah menjadi sebuah keumuman bahwa kita menyapa orang lain, baik yang kita kenal atau pun yang tidak dengan panggilan itu. Padahal kalau mau ditarik ke arah hukum syariah, seorang laki-laki diharamkan menikah dengan saudari perempuannya. Atau lebih tegasnya seorang al-akh tidak boleh menikahi ukhti-nya. Karena hubungan antara akh dengan ukht adalah hubungan kemahraman yang dilarang terjadinya pernikahan.
Panggilan Abi dan Ummi
Sayangnya, ada panggilan yang agak 'lebih parah' lagi. Yaitu panggilan isteri kepada suaminya dengan sebutan 'abi'. Dan sebaliknya, panggilan suami kepada isterinya dengan sebutan 'ummi'.
Kenapa kami bilang lebih parah?
Karena kata 'abi' bukan sekedar bermakna ayah, yang masih bersifat umum, tetapi sudah makrifah, di dalamnya sudah ada penekanan bahwa yang dipanggil abi adalah ayah saya. Maka ketika isteri menyebut 'abi' artinya adalah ayah saya. Ketikasuami menyebut 'ummi' artinya adalah ibu saya.
Di sini yang jadi sorotan adalah semangat menggunakan bahasa arab yang agak kurang tepat mengenai sasaran. Masalahnya, Rasulullah SAW dan para shahabat yang orang arab, sama sekali tidak pernah menyapa isteri mereka dengan sebutan 'ummi'. Para isteri shahabat juga tidak pernah memanggil suami mereka dengan sapaan 'abi'. Karena suami mereka memang bukan ayah mereka, sebagaimana isteri mereka bukan ibu mereka.
Mereka tetap memanggil isteri mereka dengan kata umm, tetapi bukan 'ummi'. Di sini letak titik masalahnya. Mereka panggil isteri mereka dengan sebutan yang menyebutkan kedudukan ibu terhadap anaknya. Kalau anak mereka bernama Zaid misalnya, maka panggilannya adalah: 'Umma Zaid'.
Kok umma bukan ummu?
Ya, karena kata umm dalam kalimat itu berposisi sebagai munada atau pihak yang dipanggil, dan dia sendiri adalah mudhaf, maka kedudukannya menjadi nashab (manshub). Dan tandanya adalah fathah. Aslinya, ada huruf munada seperti 'ya'yang artinya wahai. Maka aslinya: Ya umma Zaid. Artinya, wahai ibunya Zaid.
Demikian juga, si isteri menyapa suaminya bukan dengan sebutan 'abi', melainkan 'aba zaid'.
Tetapi sebutan itu bukan panggilan langsung kepada orangnya, maka posisi rafa' dengan dhammah sebagai tandanya. Abu Zaid dan Ummu Zaid.
Maka tidak ada salahnya kita sedikit mengoreksi masalah ini, sambil hitung-hitung belajar bahasa arab dengan baik. Kalau anda punya anak bernama Muhammad, cobalah sapa isteri anda dengan panggilan: umma Muhammad. Akan terasa lebih meresap dari sisi bahasa dan tentunya lebih syar'i.Ketimbang disapa dengan sebutan yang lain.
Tetapi apa yang kami sampaikan bukanlah hal yang prinsipil, apalagi menabrak larangan syariah. Sekedar bahan renungan, setidaknya untuk mereka yang sedang merindukan untuk punya bahtera kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Apa salahnya sejak awal sudah lebih kritis dalam penggunaan istilah?
Wallahu a'lam bishshawab
Ahmad Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar